Negara merupakan entitas yang dipandang selayaknya makhluk sosial yang memerlukan negara lainnya untuk menopang kehidupan warganya, baik itu dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya maupun pertahanan & keamanan. Maka tidak mengherankan jika setiap negara menerapkan strategi berupa kebijakan politik luar negeri yang berguna untuk mengatur hubungan negara tersebut dengan negara lainnya. Umumnya kebijakan yang diterapkan merupakan wujud implikasi dari tujuan nasional maupun arah ideologi yang dianut oleh suatu negara. Indonesia sendiri dikenal menganut kebijakan politik luar negeri bebas aktif, seperti yang tercantum di dalam landasan konstitusional yakni UUD 1945 pada Pasal 11 dan di bagian Pembukaan Alinea 4.
Menurut pendapat Wijayanti (2022) prinsip bebas aktif yang diterapkan Indonesia, merupakan manifestasi dari terciptanya 2 polaritas setelah berakhirnya perang dunia ke-2. Demi mewujudkan kebijakan politik luar negeri yang selaras dengan tujuan nasional, Indonesia memilih untuk bersikap netral sekaligus aktif terhadap praktik-praktik hubungan internasional. Komitmen tersebut dapat dibuktikan dengan peran dan keterlibatan Indonesia sebagai salah satu negara pelopor sekaligus pendiri Gerakan Non-Blok (Non Aligned Movement), dimana semua anggotanya merupakan negara yang tidak beraliansi dengan polaritas manapun.
Urgensi terjalinnya hubungan antar negara dalam praktik hubungan internasional pada dasarnya telah tercantum dalam hasil Konvensi Montevideo Tahun 1993 yang di dalamnya berisi penyempurnaan 3 syarat berdirinya suatu negara yang saat itu dianggap sebagai syarat klasik. Penyempurnaan yang dimaksud adalah ditambahkannya 1 syarat yakni suatu negara harus mampu menyelenggarakan hubungan dengan negara lain dalam praktik hubungan internasional. Seperti yang diketahui untuk menjalin kerja sama, suatu negara membutuhkan negara lainnya dalam hubungan diplomatik maupun hubungan internasional.
Namun sebelum itu terjadi, negara tersebut harus telah diakui kedaulatannya oleh negara lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Rombot et al (2023) bahwa satu hal yang paling mendasar dalam praktik hubungan internasional adalah pengakuan dari negara lain, dimana hal tersebut menjadi bukti eksistensi suatu negara dalam pandangan negara lain. Kemudian pengakuan tersebut nantinya dapat menjadi landasan untuk menentukan kedaulatan eksternal suatu negara. Dengan adanya pengakuan oleh negara lain, suatu negara dapat memiliki kewenangan untuk berpartisipasi dalam perundingan, konferensi maupun kerja sama yang melibatkan negara lainnya dalam praktik hubungan internasional.
Prinsip bebas aktif dalam pelaksanaan kebijakan politik luar negeri Indonesia pada dasarnya telah diterapkan sejak masa awal kemerdekaan hingga sekarang. Pada masa tersebut diketahui telah terbentuk 2 polaritas besar, berupa 2 kubu negara yang keberadaannya memiliki pengaruh besar terhadap negara lainnya, yakni kubu blok barat dan blok timur. Kedua kubu ini dibentuk atas dasar ideologi yang dianut oleh negara anggotanya, dimana saat itu Amerika dan Uni Soviet menjadi poros utama kedua kubu tersebut serta diketahui terlibat langsung dalam perang dingin. Indonesia sebagai negara yang berkomitmen dalam perdamaian dunia, memutuskan untuk tidak terlibat dan memilih bersikap netral atas perselisihan yang secara tidak langsung terjadi antara kedua kubu tersebut.
Netralisme yang dianut oleh Indonesia pada akhirnya mendorong negara ini untuk ikut andil menjadi pelopor Gerakan Non-Blok bersama dengan pemimpin negara lainnya dan menghasilkan terselenggaranya KAA (Konferensi Asia Afrika) pada tahun 1955 (Sadewa & Hakiki, 2023). Hasil tersebut menandakan komitmen besar yang diemban Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia, yaitu dengan menjalin hubungan diplomatik yang tidak berlandaskan atas keberpihakan pada satu kubu tertentu, melainkan bersikap netral tetapi tetap berperan aktif dalam praktik hubungan internasional.
Dinamika kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang diterapkan oleh Indonesia hingga saat ini tidak banyak mengalami perubahan signifikan. Komitmen Indonesia untuk mewujudkan perdamaian dunia masih menjadi salah satu tujuan nasional yang selalu diupayakan.
Oleh karena itu melalui prinsip netralisme, Indonesia cenderung menentang segala bentuk keberpihakan dalam praktik hubungan internasional, apalagi di dalam hubungan antar negara rawan terjadi berbagai konflik, perselisihan, peperangan dsb. Maka dari itu, jika Indonesia dihadapkan pada kondisi tersebut, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 Alinea 1 yang salah satunya memuat tentang penghapusan penjajahan, Indonesia dapat mengambil sikap untuk berpihak pada kemerdekaan negara yang terjajah
Sumber : Kompasiana.com