Home ยป Pemilu Indonesia: Krisis Sublimasi Idealisme pada Politik Praktis
Demokrasi Indonesia News Politics Politik

Pemilu Indonesia: Krisis Sublimasi Idealisme pada Politik Praktis


Atmosfer politik di setiap teritorial Indonesia mulai terasa pekat. Beberapa waktu yang lalu hakim MK membuat putusan mengenai minimal umur capres dan cawapres disertai pengalaman menjadi kepala daerah bagi yang belum berumur 40 tahun.

Kemudian disusul deklarasi politik Prabowo Subianto sebagai Bakal Calon Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden. Rangkaian momentum yang cukup menjadi shock therapy bagi rakyat Indonesia membuat Pemilu 2024 menjadi atensi menarik sekaligus seksi.

Konsepsi politik dalam skala besar tidak bisa dipisahkan dari negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Sebab akan selalu ada keinginan yang diikhtiarkan dari tiap-tiap warga negara untuk negaranya yaitu terwujudnya masyarakat adil makmur.

Secara normatif demikian, namun jika dilihat dari kacamata realistis, orientasi keinginan yang diikhtiarkan cenderung terjebak pada labirin kepentingan kelompok tertentu bukan kepentingan negara.

Terjadi negosiasi politik antara yang ingin berkuasa dengan yang menguasai dominasi-dominasi strata sosial di masyarakat. Seperti halnya paslon yang memanfaatkan santri-santri, mahasiswa, tokoh-tokoh adat, ulama, dan public figure untuk menarik atensi mereka baik secara ideologi maupun emosional agar hak suara mereka jatuh pada paslon tersebut. Bahkan dapat langsung berkoalisi dengan pihak yang berada pada puncak strata sosial, yaitu pemimpin masyarakatnya, bisa jadi juga Presiden.

Manuver strategi politik akan terus terjadi hingga kondisi lapangan dapat dikendalikan. Tidak luput mengenyampingkan suatu yang ideal untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Misalnya, memberikan jabatan strategis kepada pendukung tanpa melihat orang lain yang memiliki kapabilitas lebih.

Hal ini dilakukan agar semakin banyak pendukung yang terjaring. Iming-iming tersebut membuat persaingan tidak sehat pada masyarakat. Orang-orang dengan kebutuhan demikian akan berlomba-lomba dan rela menjatuhkan orang lain agar terlihat dan dicap sebagai pendukung untuk mendapatkan apa yang menjadi imbalan.

Hasrat berlebihan ini menstimulus manusia untuk mengambil jalan pintas dalam mencapainya. Thomas Hobbes mengatakan bahwa sifat-sifat demikian akan menghancurkan umat manusia itu sendiri.

Perlu digarisbawahi bahwa negara berdiri di atas semua golongan untuk mememuhi semua kebutuhan golongan. Bagaimana nantinya apabila yang menjadi pemimpin negara adalah ia yang minim kapabilitas, prematur secara pengalaman, melihat dan mengangkat pejabat-pejabat pembantunya hanya dari kacamata pendukung, atau tidak memiliki sisi idealis. Maka barangkali cita-cita negara ini hanya menjadi utopis belaka, hingga pada akhirnya jatuh kepada realitas distopia.

Teori klasik Arisoteles memandang politik sebagai upaya bersama untuk mencapai kebaikan bersama. Term “kebaikan” ditujukan pada sesuatu yang ideal menurut nilai moral dan berdasarkan output-nya. Sisi idealisme pada politik tidak boleh dilepaskan.

Politik tidak berbicara tentang melegitimasi usaha-usaha imoral agar bisa menang, melainkan bagaimana mengekstrasi konsepsi kebaikan dari alam idea kepada realitas materi. Sehingga nantinya terepresentasikan pada usaha politik praktis yang dilakukan.

Permasalahannya adalah ketidakmampuan merealisasikan hal tersebut membuat mereka mengambil jalan pintas. Jalan pintas yang sering kali didapati adalah money politic, politik dinasti, jual beli suara, dan manipulasi hasil pemilu.

Kemenangan politik atau keberhasilan merebut takhta tertinggi memanglah penting, semua ikhtiar patut dicoba. Namun bagaimana negara bisa berkembang dengan baik, mencapai klimaksnya, berevolusi, dan mampu menghadirkan real solutions dari setiap masalah yang dirasakan oleh masyarakat apabila pemimpin yang terpilih cenderung hipokrit.

Putusan berubah-ubah dalam waktu singkat ujar salah satu hakim MK ketika sidang perkara mengenai batas umur minimal capres dan cawapres. Parpol menjadi lembaga terendah yang dipercaya masyarakat menurut survei LSI. Indonesia dihantui gosip politik dinasti. Panorama yang cukup mencekam dari perpolitikan Indonesia.

Namun, seperti inikah usaha untuk membawa negara ke arah yang lebih baik? Apakah bisa Indonesia berada pada koordinat tertinggi dari diagram kemakmuran sebuah negara dengan realitas sekarang.

Sublimasi nilai-nilai idealis pada politik praktis menjadi hal yang wajib dilakukan oleh pelaku-pelaku politik. Sebab terwujudnya masyarakat adil makmur hanya akan tercipta dengan usaha-usaha yang memiliki energi positif.

Tentunya energi ini bahan bakunya adalah nilai-nilai idealis. Sehingga boleh saja menciptakan kreasi liar pada strategi dan taktik perpolitikan, namun idealisme harus tetap melekat dan menjadi napasnya.

Secepat-cepatnya kendaraan politik melaju dengan keugal-ugalannya. Akan lebih aman jika rambu lalu lintasnya tetap ada. Rambu itu adalah idealisme. Berlaku untuk setiap dimensi perpolitikan, baik pada perpolitikan pilkada, pileg, atau bahkan perpolitikan kampus atau organisasi lainnya

Sumber : kumparan

Translate