Home ยป Peran Ulama dalam Komunikasi Politik di Indonesia
Demokrasi Election Indonesia Politics Politik

Peran Ulama dalam Komunikasi Politik di Indonesia


Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, sulit sekali untuk mengisolir peran tokoh agama maupun narasi agama dalam politik elektoral Indonesia. Jika kita telusuri ke belakang, terlepas kegagalan parta-partai Islam dalam memenangkan pemilu, organisasi dan tokoh Islam tetaplah memainkan peran penting dalam percaturan politik. Mereka tampak menyadari bahwa tidak ada gunanya berlaga atau menjadi petarung dalam ring politik ini. Beberapa kelompok mulai menyadari bahwa massa dan pengaruh adalah daya tawarnya yang utama. Bisa dikatakan bahwa kelompok ini memilih menyingkir sebagai petarung dan berlaih menjadi pendukung untuk mempertahankan posisi dan jatah dalam pemerintahan atau sektor tertentu.

Model komunikasi politik transaksional berbasis narasi agama dalam era pemilu adalah pendekatan yang menekankan pada pertukaran dukungan politik melalui penyampaian narasi agama. 

Dalam konteks ini, para politisi tidak selalu menggunakan pesan secara gamblang. Mereka memilih menggunakan bahasa-bahasa non verbal seperti sowan ke pesantren atau kiai. Pertemuan tersebut sebagai upaya konsolidasi atau persuasi agar tokoh tersebut berkenan memberikan dukungan atau justru menyatakan netralitasnya terhadap partai tersebut. Seperti yang terjadi pada era orde baru di mana para ulama NU menerima pendekatan partai-partai non Islam dan menyatakan bahwa NU tidak sama dengan PPP. 

Singkatnya, komunikasi politik transaksional dalam hal ini mencakup “pembelian” dukungan atau netralitas politik dengan menawarkan imbalan dalam bentuk kebijakan, jabatan, donasi, dan lain sebagainya.

Model Transaksi Komunikasi Politik Berbasis Narasi Agama ini mengidentifikasi produksi makna di benak audiens dalam menanggapi isyarat internal (kepercayaan) dan eksternal (narasi agama dalam kampanye politik). Barnlund berpendapat bahwa dunia dan objek-objeknya sendiri tidak berarti: maknanya bergantung pada orang yang menciptakan makna dan memberikannya kepada mereka. Ini artinya model ini dapat menjelaskan bagaimana sebuah ayat, sinyal-sinyal keagamaan dapat diutilisasi dan dibengkokkan maknanya bahkan saat makna baru tersebut berbeda jauh dari orisinalnya sekalipun. Model ini tepat digunakan untuk melihat bagaimana kesepahaman makana dapat terbentuk (atau tidak) dan mengidentifikasi faktor-faktor yang bermain dalam prosesnya. Hanya saja dalam model yang dikembangkan oleh Prabawangi dkk ini, menekankan posisi khalayak yang relatif pasif . 

Dalam konteks Indonesia dan politik transaksional, khalayak adalah penonton yang memaknai proses komunikasi antara dua pihak ini. Mereka tidak terlibat dalam proses dan negosiasinya. Mereka hanyalah penonton yang menyaksikan dan menyimpulkan transaksi politik ini melalui apa yang diberitakan oleh media, dan tertutup dari politik bawah tangan yang ada. Khalayak atau anggota organisasi keagamaan adalah aset (dukungan) yang ditawarkan tokoh agama dan massa yang ingin diraih oleh partai atau kandidat politik.

Sumber : Kompasiana.com

Translate