Home » Hambat Hak Politik Mantan GAM, Wujud Pola Pikir Naif Dan Anti-demokrasi
Featured Global News Indonesia News Politics

Hambat Hak Politik Mantan GAM, Wujud Pola Pikir Naif Dan Anti-demokrasi


SEBUAH narasi yang menggelitik muncul dari Pimpinan Dayah Babul Magfirah Cot Keueng, Aceh Besar, Masrul Aidi.

Dia menyebutkan bahwa para kombatan GAM tak perlu duduk di meja politik.

Bahkan secara khusus jarinya menunjuk ke Partai Aceh, meski kombatan GAM berpolitik bukan hanya di Partai Aceh dan juga ada di partai nasional.

Ketika menunjuk Partai Aceh, maka sebetulnya dapat dilihat kemana arah komunikasi yang jadi sasarannya.

Itu kekhususnya makna yang hendak disampaikan, secara umum adalah seluruh kombatan yang kini membangun karier politiknya di berbagai partai politik.

Satu kalimat larangan politik untuk kombatan GAM saja sudah menunjukkan sikap anti-demokrasi dan sangat sektarian.

Akan lebih bijak jika Masrul Aidi juga menyampaikan kelimat yang serupa untuk kelompok lain yang semula rajin menjajakan proposal dari pintu ke pintu kini  bernafsu berpolitik hanya untuk membidik anggaran, dengan anggapan jika duduk sebagai legislatif atau eksekutif maka akan mudah mengambil anggaran.

Kendati demikian, menghambat orang-orang ini berpolitik juga adalah sikap yang menyimpang demokrasi.

Apalagi kemudian dilanjutkan dengan kalimat yang sangat merendahkan martabat orang lain, yaitu: “Seharusnya mereka mangamankan diri saja.  Butuh apa? Istri? Uang? Semua akan dikasih. Tapi berikan politik dikuasai oleh orang-orang yang ahli di dalam bidang politik. Tidak perlu turun langsung. Sampai ke sana harus diajarkan.” Ucapannya disampaikannya ketika menjadi narasumber Focus Group Discussion bertema Siapa Aktor di Balik Revisi Qanun LKS, di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh, Kamis 1 Juni 2023.

Kalimat Masrul Aidi itu terkesan memaksakan pendapat tanpa dasar dan terlalu berlebihan. Kalimat tanpa didasari pemikiran yang jernih dan sehat serta tanpa melihat implikasinya.

Bahkan, Masrul Aidi sendiri tak akan mampu memberi jawaban terhadap pernyataannya tersebut.

Jika demikian adanya, maka cerminan dari ucapan tersebut dapat dikatakan wujud kehendak pribadi yang ingin mendapat tahta, harta, dan wanita.

Semestinya ketika berada dalam ruang publik dan melakukan komunikasi publik, maka memilih diksi yang benar-benar sehat dan mendidik. Sehingga segala ucapan tidak mengotori ruang publik.

Apalagi setiap kata dan kalimat yang terurai kini dapat menjadi jejak digital yang menghiasi kehidupannya sepanjang masa. Apakah Masrul Aidi sedang berpolitik? Tentu pertanyaan itu mudah menjawabnya.

Meninjau pemikirannya dari prinsip-prinsip demokrasi pun sangat menyimpang.

Melihat ke prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut asas demokrasi, maka hak politik warga negara (termasuk mantan kombatan GAM) merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh warga negaranya.

Hak politik adalah hak bagian dari hak turut serta dalam pemerintahan.

Jika hak tersebut tidak ada dalam suatu negara, maka negara tidak dapat mengklaim berasas demokrasi.

Hak-hak dasar politik di antaranya adalah hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul, dan hak berserikat.

Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Undang Undang Dasar 1945 menjamin hak politik tersebut, yaitu hak membentuk dan memasuki organisasi politik, hak untuk menyampaikan pandangan atau pemikiran politik, hak menduduki jabatan politik dalam pemerintahan, dan hak untuk memilih dalam pemilihan umum.

Pada tingkat konstitusi dapat dilihat pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa seluruh warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28D ayat (3) menentukan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Kemudian pada level undang-undang, dapat dilihat dalam Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 43 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apalagi jika kita tarik lebih luas lagi ke dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyebutkan bahwa:

(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas;

(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya; dan

(3) Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah.

Begitu juga dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).

Di antara hak-hak sipil dan politik tersebut adalah:

(a) ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;

(b) memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para pemilih; dan

(c)  memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan.

Jadi di tarik kemanan pun dalam negara yang menganut asas demokrasi seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia, pernyataan Masrul Aidi tersebut tidak memiliki sandarannya. Bahkan ketika mencontohkan Jenderal Soedirman pun kurang tepat.

Sebab Jenderal Soedirman justru dalam posisinya sebagai tentara itulah dia berpolitik. Jangan mengira perjuangan Jenderal Soedirman tersebut bukan perjuangan politik, memperjuangkan Kemerdekaan Republik Indonesia adalah perjuangan politik.

Serupa dengan kombatan GAM juga, mereka telah berpolitik ketika berkonflik dengan pemerintah pusat. Sehingga melahirkan perdamaian serta mendapatkan sejumlah keistimewaan dalam politik.

Karena berpolitik itulah lahirnya kekhususan Aceh dalam sistem politik, di antara kekhususan itu adalah berhak mendirikan partai lokal di Aceh.

Di antaranya lahirlah Partai Aceh. Bahkan para kombatan GAM yang bergabung di dalam Partai Aceh tidak berfikir untuk melarang siapapun mendirikan partai lokal. Itulah perjuangan politik mantan kombatan GAM.

Tentu sangat menyedihkan sekali, ketika ada seseorang seperti Masrul Aidi kemudian memiliki pemikiran untuk melarang kombatan berpolitik. Ini adalah pemikiran naif dalam politik demokrasi.

Sangat merisaukan jika tumbuh pemikiran-pemikiran yang menghambat hak politik yang justru dijamin oleh konstitusi.

Kendati berlawanan dengan prinsip-prinsip konstitusi, maka Masul Aidi juga berhak berpendapat seperti juga halnya mantan kombatan GAM memiliki hak politik sebagai warga negara Indonesia.

Begitu pula setiap orang berhak merespon pendapat Masrul Aidi, sebab ia telah memasuki ruang publik dengan segala dinamika.

Sumber: Tribun News

Translate