Home » Distorsi Partai Politik Di Era Disrupsi
Featured Global News Indonesia News Politics

Distorsi Partai Politik Di Era Disrupsi


Era disrupsi merupakan era peralihan dari pola lama ke pola yang baru. Era disrupsi terjadi atas beberapa faktor. Pertama, karena terjadinya revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 terjadi ketika upaya mengintegrasikan dunia online pada sektor industri.

Kedua, faktor pandemi Covid-19. Istilah work from home menjadi tonggak utama terjadinya disrupsi yang masif. kedua hal tersebut berpengaruh secara signifikan kepada stabilitas budaya, kehidupan, dan termasuk politik di indonesia.

Dalam suatu pemerintahan negara demokrasi, tidak asing lagi dengan namanya partai politik. Partai politik sebagai infrastruktur bernegara mempunyai peran penting bagi kemaslahatan bersama. Partai politik sebagai sarana partisipasi politik atau bisa dikatakan sebagai wadah untuk menampung aspirasi masyarakat untuk proses politik.

Dalam proses pengambilan kebijakan, partai politik sebagai input yang berfungsi sebagai pendorong, pengontrol, pengawas, serta pembatas atas kesewenang-wenangan pemerintah. Hal ini untuk merealisasikan pengelolaan pemerintahan yang demokratis. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi, mempunyai wewenang untuk mengontrol pada kebijakan pemerintah. Sebagaimana disampaikan Marchiavelli dalam konsep republican, bahwasanya, rakyat secara kolektif lebih bisa dipercayai daripada seorang penguasa.

Saat ini, sebagai komunikator antara rakyat dan pemerintah, partai politik mengalami penyimpangan makna. Pengelolanya lebih mementingkan kelompoknya daripada mempertahankan fungsi mereka, yaitu sebagai pengawas, pengontrol dari rakyat untuk pemerintah

Ideologi Abu-abu Partai Politik

Ideologi adalah sebuah pokok gagasan pemikiran yang menjadikan landasan rasionalitas dalam sebuah tindakan. Ideologi dalam ranah institusi merajuk kepada pemikiran dan tujuan institusi itu didirikan, sehingga institusi tersebut dapat menjalankan visi dan misi dengan baik dan lancar. Jika dikaitkan dengan partai politik, sebuah partai politik yang berideologi adalah partai politik yang mampu mempertahakan gagasannya di era gencaran perilaku praktis-pragmatis politik yang terjadi.

Semenjak hancurnya Orde Baru pada 1998, menjamurnya partai politik semakin tidak terelekkan. Pasalnya, pada Orde Baru hanya ada 3 partai politik, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat ini ada 24 partai politik yang berdiri dan memenuhi administrasi untuk mengikuti Pemilu. Dari banyaknya partai yang berdiri, tidak banyak parpol yang masih mempertahankan ideologinya. Ideologi yang dicetuskan sebagai dasar pendirian partai politik, menjadi sekadar formalitas administratif. Partai politik saat ini cenderung lebih pragmatis dan kebutuhan individu semata dan mengesampingkan kebutuhan publik.

Dalam memperebutkan kekuasaan, partai politik  berhak  mengusung nama yang dinilai mampu untuk menempati kursi pemerintahan. Naas, dalam berebut kekuasaan, partai politik rela mempertaruhkan legitimasinya sebagai goverment control untuk kepentingan individu. Kepentingan koalisi dapat diketahui dengan maraknya didirikan partai kecil yang dikudahitamkan dalam mencari suara belaka. Pada gilirannya, stabilitas partai politik dalam menyuarakan kebutuhan rakyat mulai berkurang.

KKN di Partai Politik

KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotime) adalah sebuah bentuk penyimpangan yang besar dalam menjalankan wewenang. Tak sedikit kasus di negara demokrasi Indonesia, para politisi, birokrat, maupun pemerintah melakukan hal tersebut. Contoh pada kasus Anas Urbaingrum, mantan Ketua Partai Demokrat yang terlibat kasus suap pada proyek Hambalang 2014 silam. Ada juga Lutfi Hasan Ishaq, mantan Presiden Partai Kesejahteraan Sosial (PKS) yang terjerat kasus pencucian uang tahun 2013. Bahkan kasus yang besar, yakni kasus korupsi dana E-KTP yang melibatkan Setya Novanto, mantan Ketua Partai Golkar, dan masih ada yang lainnya.

Para politisi menjadikan dwifungsi jabatanya disamping sebagai perwakilan proletar juga sebagai jembatan emas “orang dalam”. Dalam merebutkan kuasa, partai politik menggunakan sistem CV keluarga-kerabat. Hal ini menentukan siapa saja yang mempu berkontribusi sebgaai tim suskses memiliki peluuang untuk mendapatkan privilege kuasa. Hal  ini yang menyebabkan penyimpangan terhadap penanganan hak proletar menjadi hak prioritas individu.

Partai politik saat ini mengalami kegagalan dalam menjadi perwakilan rakyat. Partai politik menjadikan tempat yang nyaman untuk melakukan praktik KKN. Selain itu, menjadi sasaran empuk bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk  memuaskan hasrat jabatan semata, tanpa memperdulikan kebutuhan masyarakat, sehingga timbul sikap hedonisme pada diri seorang politisi.

Pendidikan Politik Masyarakat

Sebagaimana disampaikan diawal, bahwasanya masyarakat mempunyai power dalam menanggapi dan mengontrol kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Maka dari itu, pendidikan politik pada masyarakat diperlukan. Pendidikan politik bisa menjadi kurikulum dalam pendidikan formal dalam mengedukasi para pelajar dan akademisi. Selain kurikulum pendidikan formal, pendidikan politik nonformal juga bisa dilaksanakan dengan cara memberikan edukasi lewat kebijakan pemerintah setempat.

Dalam pelaksanaan civil education, pendidikan politik dalam ranah pendidikan formal dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Karena para pelajar yang menjadi ujung tombak generasi muda indonesia memegang kendali penuh dan seyogyanya melek terhadap dinamika politik di Indonesiai. Pelajar berkualitas, yaitu pelajar yang mampu menangkap, menanggapi, serta memberi solusi terhadap persoalan politik di indonesia.

Di sisi lain, political education bisa dilakukan dengan penyadaran kepada masyarakat yang berada di luar konteks pendidikan formal. Buruh, tani, pegawai, dan pekerja lainnya diharapkan mampu menerima secara selektif dan memberi tanggapan secara solutif. Masyarakat menjadi titik sasaran empuk praktik money politic. Masyarakat mempertaruhkan hak suaranya terhadap serangan fajar dari para politisi.

Masyarakat  wajib mengetahui polemik politik yang terjadi di negaranya, sehingga mampu menanggapi secara rasional, dan mencari solusi yang solutif yang tepat untuk kemajuan bangsa. Tahun 2024 adalah tahun politik,dikarenakan terdapat pemilihan presiden dan wakil presiden, juga calon anggota legislatif di DPR dan DPRD.

Dalam event inilah partai politik berbondong-bondong sibuk sendiri mencari kursi di parlemen. Setiap jalanan umum sudah dipenuhi baliho “pilih saya”. Di sinilah peran masyarakat, termasuk para akademisi yang berintelektual mampu memilih dan memilah para politisi yang akan maju di Pemilu 2024 demi kesejahteraan umum, bukan kesejahteraan anggota fraksi maupun individu.

Sumber: Radar Jatim

Translate