Dalam setiap pemilihan umum, baik itu pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan legislatif (pileg), termasuk pemilihan kepala daerah (pilgub) khususnya selalu tuntutan yang paling lantang dipertanyakan soal kesejahteraan Aceh.
Untuk itu, menarik kesimpulan yang disampaikan Sofyan Dawood, caleg DPR RI dari Dapil Aceh 1, baru-baru ini melalui sebuah podcast bahwa perdamaian Aceh baru menjadi penopang keamanan, tapi belum menjadi pondasi bagi kesejahteraan.
Kesimpulan mantan Juru Bicara Gerakan Aceh Merdeka (Jubir GAM) itu memang mengambarkan kenyataan kekinian rakyat Aceh. Aceh memang terbilang sudah sangat aman. Bahkan, dibanding provinsi lain, keamanan dari sisi tindakan kriminal pun bisa dikatakan rendah.
Namun, terkait kesejahteraan rakyat, dibanding provinsi khusus atau istimewa lainnya yang ada di Indonesia, maka Aceh bisa dibilang belum menjadi provinsi yang rakyatnya sejahtera padahal sudah menghabiskan anggaran kurang lebih 100 triliun rupiah dalam kurun waktu 15 tahun Dana Otsus.
Pada saat yang sama, muncul tantangan baru secara keuangan, yaitu sejak tahun 2023, Aceh hanya menerima 1 persen dana Otonomi Khusus (Otsus) dari sebelumnya 2 persen. Jika modal pembangunan Aceh pada 2022 berjumlah 7,560 triliun maka sejak 2023 hanya Rp 3,9 triliun saja.
Lebih mencekam lagi, Dana Otsus Aceh juga akan berakhir pada tahun 2027, jadi tinggal 4 tahun lagi. Sementara perpanjangan Dana Otsus Aceh baru sebatas wacana. Janji Jokowi pada Pilpres 2019 untuk memperpanjang Dana Otsus kembali menjadi janji yang disampaikan oleh Calon Wakil Presiden yang berpasangan dengan Anies Baswedan.
Itu artinya, meminjam penjelasan Sofyan Dawood, seluruh entitas politik di Aceh memang terbukti tidak sinkron dalam memperjuangkan kepentingan Aceh. Masing-Masing asyik dengan agenda politiknya sendiri, bukan memikirkan kepentingan rakyat.
Entitas politik yang dimaksud Sofyan Dawood adalah DPR RI, DPD RI, DPR Aceh, DPRK, termasuk juga eksekutif Aceh, baik itu Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
Terkait perpanjangan Dana Otsus misalnya, kekuatan politik Aceh yang ada di DPR RI dan DPD RI belum mampu memanfaatkan dua kekuatan politik di nasional untuk memastikan Dana Otsus Aceh diperpanjang, jika tidak menjadi Dana Otsus Abadi, minimal diperpanjang dalam jangka waktu tertentu.
Atas dasar itulah, strategi berpolitik orang Aceh perlu direstorasi, direformasi, atau diubah. Dari sekedar tembus ke Senayan, menjadi tembus melalui partai-partai yang secara nasional memiliki elektabilitas tinggi.
Jika tujuan berpolitik di nasional sebatas bisa berkantor di DPR RI maka itu maknanya hanya bisa membantu diri sendiri. Inilah fakta yang selama ini berlaku sehingga kepentingan-kepentingan Aceh tidak bisa diperjuangkan secara maksimal.
Harusnya, orang Aceh harus bisa menembus ke Senayan melalui partai-partai yang elektabilitasnya tinggi sehingga ketika bertugas di Senayan dapat menggunakan pengaruh kekuatah kursi di parlemen.
Orang Aceh juga tidak seharusnya lagi terkepung dengan “beban” masa lalu sehingga akhirnya membatasi gerak dalam memperjuangkan kepentingan politik.
Membawa beban masa lalu dalam politik pada akhirnya hanya bisa mengirim wakil ke Senayan dari partai-partai yang secara kursi di parlemen kecil sehingga apapun yang disuarakan terpatahkan bila tidak mendapatkan dukungan suara mayoritas.
Menarik, dengan argumen itu, Sofyan Dawood melakukan “ijtihat politik” dengan kesediannya dicalonkan sebagai caleg DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan.
Secara elektoral, pilihan mencalonkan diri melalui PDI-P untuk Aceh memang cukup berisiko mengingat sentimen publik yang masih sangat negatif terhadap PDIP sehingga hampir saban pemilu PDIP lebih banyak gagal mengirim wakilnya ke parlemen.
Tapi, seiring waktu, sentimen negatif itu makin terkikis berkat persentuhan masyarakat Aceh dengan iklim politik nasional. Berkat makin mudahnya memperoleh informasi, informasi-informasi yang banyak menyudutkan PDI-P di Aceh makin bisa difilter sedemikian rupa.
Dan uniknya, cara Sofyan Dawood terjun ke berbagai daerah menjumpai masyarakat juga berbeda dengan caleg-caleg DPR RI lainnya. Jika caleg petahana khususnya lebih terkesan mencari dukungan suara maka Sofyan Dawood turun ke daerah justru lebih banyak mendengar dan mengidentifikasi apa yang menjadi masalah utama rakyat.
Jika ada yang bisa segera diatasi maka Sofyan Dawood segera melakukan respon cepat tanpa harus menunggu usai terpilih, jika ada masalah yang membutuhkan waktu maka Sofyan Dawood mengajak masyarakat untuk bersama-sama menyusun agenda perjuangan bersama.
Namun, untuk sebahagian masyarakat yang sudah dimanjakan dengan kerja-kerja kampanye praktis, pendekatan Sofyan Dawood ini sangat mungkin muncul dinamika dikalangan pendukung, apalagi bagi pendukung yang melihat setiap musim pemilu dengan ukuran-ukuran praktis di atas asas manfaat sebagaimana berlaku umum di caleg lainnya.
Di sinilah menariknya sosok Sofyan Dawood yang pada masa konflik juga dikenal sebagai ahli strategi. Namun, bagi saya cara Sofyan Dawood dalam melakukan kerja-kerja politk menuju Senayan bukan sebatas stategi melainkan juga mereformasi pendekatan dari kerja politik berbasis biaya besar ke pendekatan politik berbasis perjuangan bersama.
Barangkali Sofyan Dawood mengacu kepada cara berpolitik genuin orang Aceh yang terbukti sangat didukung oleh basis rakyat sehingga apapun tekanan yang diterima karena didukung penuh oleh rakyat maka sangat sulit untuk dikalakan oleh pihak lawan. Tapi, jika basis politiknya transaksi (politik peng griek) maka begitu ada yang mampu memberi lebih otomatis akan berlaku kekalahan.
Kembali pada kesediaan Sofyan Dawood untuk dicalonkan oleh PDI-P. Dari survei-survei yang dilakukan oleh berbagai pihak, elektabilitas PDI-P masih tinggi bersama beberapa partai lainnya. Jadi, peluang PDI-P untuk kembali menjadi salah satu partai mayoritas di Senayan kembali terbuka. Selama ini, PDI-P juga menjadi partai mayoritas di Senayan, sayangnya sangat sedikit dan akhirnya tidak ada wakil dari Aceh dari jalur PDI-P.
Kalau saja ada wakil dari Aceh dari jalur PDI-P pasti jalan politik di Aceh akan sangat berbeda. Berbagai kepentingan Aceh akan lebih mudah disuarakan dan sangat mungkin diperjuangkan manakala ada wakil dari Aceh yang berada di partai yang menguasai parlemen di Senayan, apalagi ikut pula menguasai kementerian dan memiliki presiden.
Salah satu dan selalu menjadi harapan dari Aceh misalnya adalah menuntaskan butir-butir MoU Helsinki. Dari debat capres yang berlangsung beberapa waktu lalu juga sangat kentara terlihat bahwa Capres dari PDI-P sangat dekat dengan kepentingan Aceh yaitu terkait kehendak mewujudkan butir MoU Helsinki terkait pengadilan HAM dan KKR.
Ganjar Pranowo dengan tegas mengatakan bahwa jika dirinya menjadi Presiden akan mewujudkan Pengadilan HAM adhoc dan KKR agar beban masa lalu segera bisa dituntaskan sehingga tidak lagi menjadi isu yang dibahas saban lima tahun.
Jadi, pilihan Sofyan Dawood untuk terjun ke politik Senayan melalui Pileg 2024 ini melalui PDI-P bukan hanya tepat dan strategis melainkan juga membuktikan bahwa mantan Jubir GAM itu semakin matang dalam berpolitik untuk mewujudkan apa yang disebut dengan Aceh Interest.
Sumber : AJNN.net