Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, memprediksi angka golongan putih (golput) di Pemilu 2024 berada di kisaran antara 18%-20% atau setidaknya menyamai perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres.
Pasalnya, pelaksanaan pemilu yang sudah diwarnai tuduhan kecurangan berimbas pada turunnya kepercayaan terhadap institusi demokrasi seperti partai politik dan aparat hukum.
Ditambah lagi mendominasinya gimik politik ketimbang adu gagasan sehingga bisa memengaruhi perilaku pemilih muda untuk golput.
Seperti yang diungkapkan Harry Wibowo. Dia mengaku sudah memantapkan diri untuk golput karena tak percaya pada proses pemilu yang disebutnya dibekingi “cukong oligarki perusak lingkungan”.
Menkopolhukam Mahfud MD yang juga cawapres nomor urut 3 berkata berpartisipasi dalam pemilu merupakan wujud bela negara.
Begitu juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa bahwa golput hukumnya haram.
Bermunculan sikap golput di media sosial
Seruan memilih untuk tidak memilih alias golput di Pemilu 2024 mendatang mulai menggema di media sosial X setelah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, M. Cholil Nafis, menyatakan “masyarakat yang golput atau tidak memilih pada pemilu hukumnya haram”.
Fatwa ini sebetulnya sudah dikeluarkan MUI sejak Pemilu 2009 silam dan masih berlaku pada tahun depan. Sebab menurutnya, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya disebut tidak bertanggung jawab terhadap jalannya bangsa.
Tak cuma itu, kata dia, apabila masyarakat tidak memilih salah satu dari calon presiden, maka Indonesia bisa kacau.
“Dalam fatwa yang dikeluarkan pada Ijtima Ulama II se-Indonesia pada 2009 menegaskan memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama,” kata Cholil, seperti dilansir dari MUIDigital, Sabtu (16/12).
Di X sejumlah akun menyatakan terang-terangan akan tetap golput.
Mengapa memilih golput?
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, mengatakan sejak era reformasi angka golongan putih (golput) cenderung meningkat.
Berdasarkan data KPU, di pemilu 2004 prosentase golput di angka 20,24%; pada pemilu 2009 angka golput mencapai 25,19%; dan di tahun 2014 jumlah golput berada di angka 20,22%.
Pengecualian terjadi ketika Pemilu 2019 di mana angka golput termasuk yang terendah dibandingkan pemilu sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,2% dari total pemilih yang terdaftar.
Devi mengatakan angka golput kala itu menurun karena ada polarisasi yang tebal di masyarakat terkait isu SARA dan agama sehingga membuat kelompok minoritas non-Muslim menggunakan hak suaranya ke salah satu kubu.
Tapi kini, menurut Devi, situasinya berbeda. Tak ada narasi politik identitas yang dimainkan.
Akan tetapi, ada beberapa alasan yang membuat orang-orang berpotensi golput pada Pemilu 2024 mendatang.
Pertama, karena munculnya isu kecurangan di tahap awal pemilu yang berdampak pada menurunnya kepercayaan pada institusi demokrasi seperti partai politik kemudian merembet ke aparat keamanan.
Kedua, lantaran merasa tidak ada capres-cawapres yang bisa dipercaya mewakili suaranya. Apalagi mendominasinya gimik politik daripada adu gagasan.
“Itu bisa memengaruhi juga pertimbangan perilaku pemilih muda dalam memilih menjadi golput di pemilu nanti.”
Ketiga, belum adanya pergerakan yang signifikan dari para timses capres-cawapres dalam menarik suara pemilih muda.
Pemantauannya di daerah-daerah, masing-masing timses masih menggunakan cara lama yakni mendekati perangkat desa atau tokoh masyarakat sebagai pengepul suara.
“Kalaupun ada anak muda, tidak terlalu didekati oleh para timses atau caleg. Karena golput dipengaruhi oleh kedekatan pemilih dengan calon. Sementara koneksi yang dibangun tidk kentara dalam durasi kampanye 75 hari.”
Jika kondisinya seperti ini terus, Devi memprediksi angka golput akan sama seperti pemilu sebelumnya di tahun 2019 yakni dikisaran antara 18%-20%.
Kendati demikian pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, menilai debat capres-cawapres masih bisa mengubah keputusan mereka.
Kalau dalam sisa debat yang tersisa para capres-cawapres mampu menuangkan ide atau gagasan baru maka ada kemungkinan mereka menggunakan hak pilih.
Tetapi jika sebaliknya, golput akan jadi pilihan.
“Misalkan sampai debat akhir nanti tidak ada gagasan atau terobosan yang inovatif bisa jadi orang memilih golput,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Kelompok golput di Indonesia seperti apa?
Nicky Fahrizal berkata pemilih golput di Indonesia cenderung orang yang sangat teredukasi secara politik.
Mereka, katanya, sangat paham peta politik dan jejak para pasangan calon.
“Seperti isu oligarki menyebabkan orang-orang itu kadang tidak memilih. Jadi mereka itu terpelajar.”
Oligarki politik yang sering disebut-sebut olah para capres-cawapres dalam debat adalah sistem politik yang membuat pengambilan keputusan penting dikuasai oleh sekelompok elit penguasa yang tujuannya untuk mengamankan kepentingan mereka.
Devi juga mengidentifikasi orang-orang yang memilih untuk tidak memilih alias golput pada pemilu sebelumnya adalah mereka yang punya ideologi sendiri.
Sebab meskipun golput tapi mereka akan tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) lalu merusak surat suara dengan cara mencoret atau apapun sehingga dianggap tidak sah.
“Jadi mereka bukan orang-orang yang malas ke TPS. Karena dalam demokrasi, kita tidak memilih orang terbaik tapi memilih orang yang punya kapasitas lebih di antara calon yang ditawarkan lewat nominasi kandidat,” jelas Devi.
“Nah masyarakat sekarang bingung pilih yang mana, karena figur baru tidak ada.”
Karenanya golput bisa disebut sebagai bentuk ekspresi atau model penghukuman terhadap penyelenggaraan institusi pemilu.
Itu mengapa, menurut Devi, publik yang sudah memutuskan untuk menggunakan hak suaranya jangan merisak mereka yang memilih golput lantaran itu adalah wujud sikap yang harus dihormati.
“Jangan lihat golput melemahkan demokrasi, karena salah satu mengukur indeks demokrasi lewat rasionalitas di pemilu.”
Devi juga menyebut kalau hasil di Pilpres nanti jumlah golput sama dengan perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres maka artinya masyarakat sudah jenuh atau muak terhadap penyelenggaraan pemilu.
Dan tidak punya ketertarikan dengan calon manapun yang ada dalam bursa capres-cawapres.
Dampaknya bisa buruk terhadap legitimasi pemilu lantaran pemilihan umum tidak memiliki dukungan yang signifikan.
Pemilih golput: jadilah golput aktif
Harry Wibowo adalah salah satu pemilih yang sudah memantapkan sikap untuk golput di Pemilu 2024.
Di media sosial Facebook, dia kerap menyuarakan tagar #GolputBersatuTakBisaDisalahkan!
Pegiat hak asasi manusia ini bercerita sudah golput sejak Pemilu 2019 atau bersamaan dengan munculkan kasus-kasus konflik agraria di berbagai daerah serta kekerasan yang menimpa orang-orang di Papua.
Kala itu, sikap golput ditunjukkan dengan menggelar nobar (nonton bareng) film dokumenter yang bercerita tentang konflik agraria dan lingkungan berjudul Sexy Killers di 526 lokasi.
“Secara sadar walau kami tidak menyatakan terbuka mau menunjukkan Sexy Killers adalah kampanye golput lima hari jelang masa tenang,” ucapnya kepada BBC News Indonesia.
Sekarang sikapnya takkan berubah.
Ia beralasan penyelenggaraan pemilu saat ini sarat kecurangan, politik uang, dan “semua capres-cawapres dibekingi oleh pengusaha tambang atau sawit” yang klaimnya paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Meskipun golput, tapi dia dan teman-temannya akan tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan menunjukkan sikap lewat kertas suara.
“Kami sadar harus membangun kekuatan politik alternatif di tengah partai politik yang minim ideologi. Misalnya PDIP, apa berani mereka menyatakan berideologi marhaenisme?”
“Ideologi kami punya, soal ekologi dan kami percaya bahwa masyarakat Indonesia harus dibangun menuju sosialisme…”
“Jadi kami menganjurkan jangan berdiam diri di rumah, itu pasifisme yang tidak punya arti. Maka jadilah golput aktif, kalau perlu ikut sebagai saksi.”
Harry Wibowo juga meyakini gerakan golputnya sudah merambah ke pemilih muda dan pemula yang aktif di kegiatan aktivisme di masyarakat.
Sikap tersebut, katanya, juga tidak akan berubah meski ada fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Biarkan saja, basi. Haram dari mana, wong kami memilih kok. Golput itu dalam pemilu sah, kan itu hak bukan kewajiban.”
Apakah golput melanggar hukum?
Istilah golput tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan.
Namun begitu dalam unsur perbuatan pidana yang tersirat bersinggungan dengan golput terdapat di UU Pemilu, pasal 515 yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Mengutip dari laman resminya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan posisi seseorang yang memilih untuk tidak memilih dalam pemilu bukan merupakan pelanggaran hukum.
Sebab tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar.
“Ketentuan dalam UU Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput,” bunyi keterangan ICJR.
ICJR juga berpandangan sanksi yang tertera dalam Pasal 515 UU Pemilu hanya membatasi seseorang yang dapat dipidana berdasarkan mereka yang menggerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan sesuatu berupa uang atau materi.
“Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana,” kata ICJR.
Meskipun begitu Menkopolhukam Mahfud MD yang juga cawapres nomor urut 3 menganjurkan pemilih muda menggunakan hak pilihnya pada Pilpres 2024.
Dia mengatakan berpartisipasi dalam pemilu merupakan wujud bela negara karena tujuannya untuk memilih pemimpin bersama.
“Pemilu itu adalah untuk memilih pemimpin bersama. Bukan mengeliminir musuh, tapi memilih pemimpin, sehingga lawan politik itu yang kalah bersatu ke yang menang, bahwa ‘oh ini pemimpin kita’,” kata Mahfud di Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Sumatera Barat, Senin (18/12).
Mahfud juga mengingatkan jangan sampai tidak memilih calon hanya karena tidak ada yang bagus. Dia menyarankan agar memilih yang paling sedikit buruknya dari para calon.
“Karena pemilih untuk bukan untuk memilih orang yang hebat, sempurna, melainkan untuk memperkecil peluang orang jahat menjadi pemimpin,” kata dia.
Sumber : BBC