Home » Bekas Napi Korupsi Tetap Diusung Partai Politik
Berita Indonesia News Politics Politik

Bekas Napi Korupsi Tetap Diusung Partai Politik


Korupsi telah diamini oleh semua kalangan menjadi momok proses politik dan demokrasi. Namun, bekas napi korupsi tetap ada dalam daftar calon tetap yang diusung oleh parpol pada Pemilu 2024.

Korupsi menguntungkan segelintir pihak, tetapi merugikan kepentingan rakyat banyak. Sebagaimana ditulis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi lewat Pusat Edukasi Antikorupsi, korupsi berdampak buruk terhadap proses politik dan demokrasi. Dengan korupsi, politik tidak lagi berbasis pada kecakapan dan kualitas kepemimpinan seseorang, tetapi lebih bergantung pada kekuatan uang.

Menjadi tidak mengherankan pula, korupsi seakan menyandera pemerintahan sekaligus menelurkan plutokrasi, yakni sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal. Dampaknya, kedaulatan rakyat menjadi slogan tak bermakna. Lebih lagi, kepercayaan rakyat terhadap demokrasi hancur lebur.

Di tengah situasi demikian, koruptor menjadi aktor utama dalam proses degradasi demokrasi akibat korupsi. Dengan kata lain, memberi kepercayaan terhadap seorang bekas napi koruptor tetap berkecimpung dalam politik di Indonesia menjadi hal yang patut dipertanyakan. Meskipun seseorang bisa berubah, perilaku korup bukan kejahatan yang main-main.

Kendati begitu, partai politik yang menjadi pihak utama yang memotori demokrasi di Indonesia tampak masih memberikan kelonggaran terhadap bekas napi korupsi.

Terbukti, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan adanya 56 bekas terpidana korupsi yang nama-namanya akan terpampang di surat suara alias diusung sebagai caleg dalam Pemilu 2024.

Merata

Jumlah tersebut terdiri dari calon anggota legislatif untuk DPR, DPRD, dan DPD. Untuk tingkat DPRD terdapat 22 bekas napi korupsi. Sementara untuk calon di DPR ada bekas koruptor sebanyak 27 orang. Sisanya, 7 orang, bekas koruptor terdaftar sebagai calon legislatif untuk DPD.

Jika dilihat dari daerah pemilihannya, ada dua bekas terpidana korupsi yang menjadi calon anggota DPD untuk daerah pemilihan Bengkulu. Bahkan, salah satunya berada di nomor urut satu. Sisanya, bekas napi korupsi merupakan calon DPD untuk dapil Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Maluku, dan Sulawesi Selatan.

Bergeser untuk calon legislatif DPR dan DPRD, ICW mencatat ada 11 partai yang mengusung bekas napi korupsi. Tercatat Golkar menjadi partai yang mengusung jumlah terbanyak, yakni sembilan calon.

Dari angka tersebut, tiga merupakan calon untuk DPRD dan enam untuk DPR. Nasdem di bawah Golkar sebagai partai terbanyak kedua yang mengusung bekas koruptor.

Terdapat dua calon di DPRD dan lima untuk DPR RI merupakan bekas napi korupsi yang diusung Nasdem. Posisi berikutnya diisi oleh PKB dan Hanura yang masing-masing mengusung enam caleg bekas koruptor.

Bekas koruptor yang diusung PKB untuk level DPRD sebanyak dua orang dan empat orang untuk DPR. Sementara Hanura mengusung empat caleg DPRD dan dua caleg DPR yang merupakan bekas terpidana korupsi.

Selain empat partai tersebut, tujuh partai lain yang mengusung bekas terpidana korupsi, yakni Demokrat (5 caleg), PDI-P (5 caleg), Perindo (4 caleg), PPP (4 caleg), PKS (1 caleg), PBB (1 caleg), dan Buruh (1 caleg).

Kontradiktif

Fakta ini tentu menjadi kontradiksi mengingat semangat demokrasi yang mengutuk tindakan korupsi. Dalam diskusi-diskusi publik pun hampir mustahil mendengarkan pernyataan partai politik yang memberi kelonggaran terhadap tindak korupsi. Apalagi jika dilihat dalam daftar di atas, sebagian besar parpol merupakan partai yang sudah melenggang sebagai partai parlemen pada tahun 2019.

Menjadi semakin kontradiktif ketika melihat visi Golkar, misalnya, yang terpampang di laman resmi partai, yaitu ”terwujudnya masyarakat Indonesia yang bersatu, berdaulat, maju, modern, damai, adil, makmur, beriman dan berakhlak mulia, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bermartabat dalam pergaulan dunia”. Ada kata kunci beriman, berakhlak mulia, dan berkesadaran hukum di sana.

Setali tiga uang dengan Golkar, dalam tujuan khusus Partai Nasdem tertulis ”membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Ditekankan etika dan budaya politik di sana.

Partai-partai yang lain pun hampir dipastikan memiliki nada yang positif terhadap etika politik dan pembangunan demokrasi di Indonesia. Membuka ruang terhadap bekas koruptor tentu menjadi hal layak dipertanyakan.

Koalisi Kawal Pemilu Bersih menggelar aksi untuk memprotes dua peraturan KPU yang dinilai memberi karpet merah terhadap bekas terpidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif 2024, Minggu (28/5/2023). KPU menafsirkan putusan MK bahwa bekas terpidana korupsi tak perlu menunggu masa jeda hingga lima tahun jika putusan pencabutan hak politik oleh pengadilan kurang dari lima tahun.

Tak hanya berkontradiksi dengan semangat demokrasi, memberikan ruang terhadap bekas terpidana korupsi juga bertentangan dengan kehendak publik. Jajak pendapat Litbang Kompas Desember 2022 mencatat, mayoritas responden (90,9 persen) menyatakan tidak setuju jika bekas terpidana korupsi diusung sebagai calon anggota legislatif di pemilu (Kompas, 19/12/2023).

Alasan paling besar ketidaksetujuan publik adalah besarnya potensi besar terpidana korupsi akan kembali melakukan korupsi.

Alasan lain yang diberikan publik adalah juga karena bisa menjadi preseden buruk bagi politisi lainnya. Selain itu, ada sisi kepatutan yang dilanggar di samping publik menganggap bahwa masih banyak calon lain yang lebih baik.

Tak hanya memberi kesempatan, sejumlah parpol juga memberikan posisi strategis untuk bekas terpidana korupsi. Kembali dari temuan ICW, sebanyak 27 orang bekas terpidana korupsi yang dicalonkan sebagai anggota DPRD dan DPR mendapatkan nomor urut 1 dan 2. Tak hanya posisi parpol yang seakan memberikan kelonggaran, ICW juga menyoroti kebijakan KPU sebagai penyelenggara pemilu.

Dalam laman infopemilu.kpu.id, KPU tidak mewajibkan setiap calon dengan status sebagai bekas terpidana korupsi untuk mendeklarasikan informasi tersebut. Hal ini memungkinkan sejumlah calon menutup akses informasi tersebut. Akibatnya, para pemilih tidak mengetahui informasi terkait hal itu.

Tak dapat dimungkiri, rakyat akan menjadi penentu dalam pemilu. Artinya, jika dikembalikan ke rakyat, para pemilih dalam pemilu nanti hanya tinggal tidak memilih calon yang merupakan bekas terpidana korupsi.

Namun, mengembalikan semua kepada pemilih tentu tidak sepenuhnya dapat diterima apabila secara mekanisme, baik parpol maupun penyelenggara pemilu, tidak memfasilitasi hal tersebut.

Kembali pada inti dasar peran partai politik yang merekrut mulai dari anggota partai, bakal calon wakil rakyat, bakal calon kepada daerah, hingga calon presiden dan wakilnya, maka peran partai politik menjadi sangat sentral dalam sistem demokrasi.

Dalam peran yang krusial ini, kepentingan publik dan kehidupan bernegara selayaknya menjadi hal utama yang diperjuangkan. Dengan mengusung calon dengan rekam jejak sebagai koruptor, ada risiko penggadaian etika dalam berpolitik dan terhentinya proses pendewasaan demokrasi di Indonesia.

Sumber : Kompas.id

Translate