Home » Politik Antara Rasional dan Irrasional
Indonesia Politics Politik Science

Politik Antara Rasional dan Irrasional


PERKEMBANGAN politik yang berlaku, bukan saja disebabkan perbincangan, diskusi, diskursus serta dialektika yang dipahami secara keilmuan dan akademik. Namun demikian berkembangnya pemahaman serta pengetahuan politik selaras dengan perubahan perilaku dan praktik politik yang semakin dipengaruhi berbagai faktor.

Hal ini didukung oleh perilaku aktor partai politik, juga para aktor politik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan dunia politik. Dalam perkembangan politik yang dipengaruhi oleh perilaku, menjadikan posisi dan pembentukan preferensi politik sendiri dapat dikategorikan dalam berbagai skop yakni preferensi berbasis intelektual, preferensi berbasis emosional, preferensi berbasis kolegial, dan lainnya. Hal ini pula yang kemudian berkembang secara masif yaitu, perubahan bentuk preferensi tersebut, yang kemudian bermuara pada sikap rasionalitas dalam memilih.

Demikian juga adanya kecenderungan untuk tertuju kepada sikap rasional adalah, cerminan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi namun belum pasti pilihan politiknya. Hal ini didukung dari pemikiran beberapa pakar politik, yaitu DeCotiis, T. A., & LeLouarn, J. Y. (1981), McKenzie-Mohr, D., & Schultz, P. W. (2014), dan Mutz, D. C. (2013) bahwa, perilaku memilih pada dasarnya merupakan bentuk manifestasi dan ekspresi kesadaran berpolitik yang coba untuk diaktualisasikan individu dalam menentukan pilihan politiknya.

Dalam hal pemahaman secara keilmuan dan literasi yang demikian ketat memahami perilaku rasional permasalahan ini juga didukung dengan pernyataan oleh, Leiserowitz, A. (2006), Pahlevi, M. E. T., Khalyubi, W., & Khatami, M. I. (2021) adalah, perilaku tersebut sangatlah tergantung dengan konteks preferensi politik yang mempengaruhinya dalam melihat dan menyikapi situasi politik kekinian.

Sehingga merupakan gambaran dinamika politik terlihat secara transparan, yakni memperhatikan serta menelisik konteks perilaku memilih dalam pemilu kekinian di Indonesia, di samping melihat pengaruh dinamika serta fluktuasi berbagai faktor yang ikut serta mengikatnya secara empiris dan realistis.

Hal ini dikarenakan berbagai faktor hadir dan terlibat dalam mengonstruksi perilaku memilih publik. Di samping berbagai upaya menjadikan politik sebagai daya tarik kehidupan masyarakat modern, bukan saja terhadap orang, kelompok, kumpulan masyarakat, dan organisasi yang terlibat politik di ruang publik dengan kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing pihak.

Sikap rasional

Sesungguhnya menjadikannya sebagai siklus evaluasi, juga studi literatur terkini menunjukkan permasalahan perilaku memilih. Hal itu bagian dari evaluasi warga negara dalam menilai performa para pejabat publik sebagai pemimpin ataupun aktor politik yang terlibat, maupun adanya penilaian dampak kebijakannya, sehingga secara realistis hal itu bisa berujung pada reward and punishment publik dalam politik rakyat kepada pemimpin politik.

Dengan demikian kesadaran dari sikap rasional politik menjadi perhatian bagi orang, individu maupun masyarakat dalam memberikan penilaian yang dilakukan secara sadar, rasional serta logika akal sehat dengan menggunakan berbagai variabel faktor sebagai landasan evaluasi dan penilaian logis.

Hal ini tidak terlepas dari pemahaman intelektual individu masyarakat rasional, dengan melihat serta menilai perilaku politik para aktor politik, pemangku kekuasaan serta pengambil kebijakan yang benar-benar berdampak terhadap kehidupan riil masyarakat dalam kehidupan yang lebih baik, berubah serta sejahtera. Ini berlangsung dalam evaluasi serta penilaian dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

Secara prinsipil perubahan kehidupan yang menjadi aktivitas mendasar menjadi penilaian utama, sehingga perilaku publik akan mengkaji ulang terhadap pilihan politiknya. Menilai baik ataupun buruk sehingga memiliki keputusan pilihan politik rasional terhadap penentuan pilihan politik juga dengan menggunakan pemikiran rasional. Dengan demikian, menggunakan pemikiran rasional, juga politik rasional didukung oleh preferensi intelektual, emosional, kolegial dan lain sebagainya.

Penentuan pilihan politik rasional dengan pertimbangan evaluasi serta penilaian dari praktik politik elite, pemimpin, penguasa yang menjadi landasan siklus evaluasi penilaian menggunakan logika yang sebenarnya. Ini akan mempengaruhi perilaku pilihan serta penentuan politik tidak dapat dipaksakan dengan hanya mengandalkan tampilan, performa juga janji politik yang tidak terealisir.

Kondisi teraebut akan menjadi catatan tersendiri bagi publik atau masyarakat umum, sangat erat hubungannya dengan kualitas pengambilan serta keputusan dan kebijakan yang secara riil dirasakan, juga diterima publik ataupun masyarakat. Sehingga secara riil juga pada sikap rasional tersebut adalah, cerminan perilaku masyarakat adanya sikap paradoks tersebut menunjukkan sikap kritis terhadap penentuan pilihan politik terutama pada edisi Pemilihan Umum (Pemilu) mutakhir dan atau akan datang.

Preferensi politik

Karena itu, pemahaman rasionalisme adalah perilaku politik yang mengedepankan adanya independensi maupun juga daya intelektualitas dalam perilaku serta praktik dalam mengartikulasikan pendapatnya. Berlandaskan pemahaman yang menjadi basis perilaku politik tersebut pemikiran rasional politik intuisi berkembang menentukan pilihannya.

Kemudian adalah, perilaku berpolitik rasional tersebut merupakan refleksi dari demokrasi serta perkembangan realitas politik dari mahzab Aristotelian yang melihat manusia sebagai zoon politicon yang mandiri, jujur, terbuka serta bertanggung jawab dalam menyikapi praktik politik rasional. Maka, hadirnya rasionalisme ini memiliki respons berkaitan dengan pemaknaan demokrasi politik substantif yang lebih melihat egalitarian dan partisipatorisme dengan menggunakan logika.

Secara empirik adalah, dikarenakan pada event Pemilu ini merupakan transisi dari pola patrimonialisme menuju pada rasionalisme. Pada dasarnya hal ini selaras dengan perkembangan  informasi dan berkembangnya praktik digital yang disajikan lewat sosial media, media komunikasi, teknologi informasi serta media mainstream menjadi basis utama dalam membentuk dan ikut mengarahkan pilihan politik secara masif.

Kemudian hal ini dipahami dengan pemahaman kata lain adalah ditentukan oleh sikap logis dan kritis untuk menjadi basis utama dalam membentuk preferensi politik yang dipilih serta ditetapkan keputusannya tersebut. Namun yang berlangsung di tengah kehidupan masyarakat yaitu, kini berlaku justru adalah anomali, yakni publik tidak lagi dimaknai subjek, tapi lebih kepada objek dimana mereka hanya pendekatan dan didengarkan aspirasinya pada seremonial normatif.

Sebaliknya irrasional politik berkembang dari dialektika pemahaman ekstrem dari pada rasional politik, dalam pandangan yang irrasional acap kali berkembang dari preferensi ketidakpahaman intelektual, emosional yang tidak terarah, dan kolegial yang tidak terorganisir secara baik, juga tidak tertata baik dan amburadul, hanya berdasarkan kepentingan keuntungan sesaat. Demikian berkembangnya cara pikir dan pandang yang mengubah kondisi demokrasi politik secara riil yaitu, paradigma Pemilihan Umum (Pemilu) yang menempatkan rakyat sebagai “raja” dalam prosesnya demokrasi politik telah menghadirkan analisis yang menarik tentang prospek demokratisasi secara umum di tengah kehidupan masyarakat.

Pada satu sisi diharapkan aspek-aspek positif muncul, seperti partisipasi masyarakat, kebebasan memilih, akuntabilitas pemerintahan, dan lain-lain. Namun di sisi lain ada aspek negatif yang sangat sulit dihindarkan seperti permainan money politics demikian marak, konflik dan kekerasan politik dari fragmentasi politik, serta black campaign (kampanye hitam) dari tim kampanye yang terus menerus menyerang dari salah satu kandidat calon pemimpin demi memenangkan pertarungan politik tersebut.

Kondisi irrasional politik tidak berlandaskan etika politik, mematuhi aturan main, serta berusaha menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan dalam kontestasi politik dari pelaksanaan Pemilu dengan jargon demokrasi secara terbuka.

Dengan demikian dalam pemahaman pemikiran logika yang benar adalah, politik irrasional rakyat menjadi korban, di samping aturan, non-etika dan elite politik yang bermain curang. Ini merupakan kekhawatiran bahwa, hanya demi kepentingan politik suatu kelompok untuk menguasai posisi kekuasaan, rakyat yang seharusnya berdaulat menjadi korban yang bernama “demokrasi”.

Selain tidak menghargai suara rakyat, hal itu juga mengancam keselamatan masyarakat dari kampanye politik. Akhirnya bukannya partisipasi politik, namun mobilisasi politik yang justru muncul ke permukaan dan harapan palsu dari pemimpin politik.

Sumber : Serambinews.com

Translate