Home » Mengolah Momentum Politik Kurban
Budaya Featured Global News Indonesia Lifestyle News Politics Politik

Mengolah Momentum Politik Kurban

Puan Maharani dan Anies Baswedan berangkat ibadah haji di tanggal yang sama, yaitu 22 Juni 2023. Ini menandakan takdir datang begitu indah, karena dipertemukan dalam tataran transendensi yang justru pada mulanya berasal dari skala politik berseberangan.

Puan Maharani selaku Ketua DPP PDIP dan Anies Baswedan bakal capres dari Partai NasDem, adalah dua sosok yang berdiri di kemah politik yang saling bersaing dan berseberangan. Maka momentum keduanya berangkat ibadah haji di tanggal yang sama, bisa dibaca lewat momentum takdir begitu indah memiliki makna politik dalam inheren tradisi kurban.

Tradisi kurban adalah praktik keagamaan dalam Islam di mana umat muslim menyembelih hewan tertentu seperti kambing, domba, atau sapi pada hari raya Idul Adha sebagai bentuk ibadah dan pengorbanan kepada Allah SWT. Tradisi ini memiliki akar-akar keagamaan yang dalam, tetapi juga melibatkan aspek-aspek politik yang signifikan.

Kendati demikian harus lebih awal dijelaskan bahwa secara umum, konsep berkurban dalam agama Islam tidak terkait dengan politik. Kurban adalah ibadah yang dilakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan pengorbanan diri sebagai wujud rasa syukur dan kepatuhan kepada-Nya.

Namun, dalam beberapa konteks, terutama dalam masyarakat yang memiliki pengaruh politik yang kuat, ada kemungkinan adanya politik yang terkait. Maka hal ini kemudian merujuk pada dampak dan implikasi politik dengan praktik tersebut. Dan ini sarana untuk memperkuat hubungan sosial antara pemimpin politik.

Dengan demikian ada potensi hikmah dan makna politik dalam momentum Puan Maharani dan Anies Baswedan berangkat ibadah haji di tanggal yang sama. Sedikitnya takdir memperlihatkan betapa momentum religi itu sekaligus mengajarkan betapa tidak boleh memanipulasi agama untuk kepentingan politik semata.

Cara Mendapatkan Dukungan

Dalam konteks politik Indonesia, agama dan politik seringkali saling terkait dan berpengaruh satu sama lain. Partai politik dan calon legislatif (caleg) sering mencoba memanfaatkan isu-isu agama, termasuk tradisi kurban, untuk mendapatkan dukungan dan mempengaruhi preferensi pemilih. Tradisi kurban dapat menjadi isu politik yang relevan dalam menarik pemilih dan memperkuat pengaruh partai politik tertentu.

Bersamaan ini bisa digunakan pula sebagai simbol identitas politik dalam menggambarkan komitmen dan afiliasi politik seseorang atau kelompok. Dalam konteks pemilu, isu-isu keagamaan dan praktik keagamaan seperti kurban dapat memainkan peran dalam mempengaruhi preferensi pemilih dan membangun solidaritas di antara basis dukungan politik.

Ini artinya, dapat mendorong partisipasi politik dalam masyarakat. Dalam demokrasi, partisipasi politik aktif dari warga negara adalah penting, maka melalui tradisi kurban, masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan keagamaan yang memiliki dimensi politik, seperti berbagi daging kurban dengan yang membutuhkan. Hal ini dapat meningkatkan kesadaran politik dan keterlibatan aktif dalam kegiatan sosial yang berdampak pada penguatan demokrasi.

Pada sisi lainnya, hal demikian juga menumbuhkan kesadaran akan keberagaman budaya hingga dapat memperkuat persatuan dan solidaritas sosial. Tradisi kurban, sebagai praktik keagamaan dan budaya, dapat berkontribusi pada memperkuat identitas politik dan keberagaman budaya secara positif—dan ini merupakan aspek penting dalam perkembangan demokrasi yang inklusif.

Oleh karenanya, negara harus aktif berperan karena bagaimanpun pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa tradisi kurban dilaksanakan dengan memperhatikan aspek lingkungan, kesejahteraan hewan, dan distribusi yang adil. Isu-isu ini dapat menjadi sorotan dalam platform kampanye calon politik yang ingin menunjukkan komitmen mereka terhadap lingkungan, kesejahteraan hewan, dan keadilan sosial.

Implementasi Politik Kurban

Politik kurban dapat digunakan oleh berbagai kelompok politik, terutama di negara dengan mayoritas penduduk muslim. Beberapa kelompok yang mungkin menggunakan politik kurban sebagai bagian dari strategi politik mereka.

Partai politik yang didasarkan pada identitas agama, atau partai politik yang didukung oleh organisasi keagamaan, dapat menggunakan politik kurban sebagai salah satu isu yang relevan dalam kampanye mereka.

Politik kurban dapat dianggap sebagai politik religi atau politik keagamaan. Hal ini karena tradisi kurban memiliki akar yang kuat dalam agama Islam dan terkait dengan praktik keagamaan yang dijalankan oleh umat muslim.

Politik religi atau politik keagamaan merujuk pada penggunaan isu-isu agama, keyakinan, dan praktik keagamaan dalam konteks politik untuk mempengaruhi preferensi pemilih, memperoleh dukungan politik, dan membangun basis kekuasaan.

Dalam politik kurban, partai politik atau caleg dapat memanfaatkan tradisi kurban dan isu-isu terkait untuk memperoleh dukungan dari pemilih yang memegang keyakinan agama yang kuat. Mereka dapat menyoroti komitmen mereka terhadap nilai-nilai agama, kesejahteraan umat, atau distribusi daging kurban yang adil. Dalam hal ini, politik kurban menjadi bagian dari strategi politik yang terkait dengan agama dan keagamaan.

Sementara itu kelompok konservatif, baik dalam konteks agama maupun budaya, dapat menggunakan politik kurban untuk memperkuat identitas agama atau untuk menegaskan tradisi dan nilai-nilai yang dianggap penting. Kelompok ini mungkin berusaha memperoleh dukungan dari pemilih yang memegang keyakinan agama yang kuat dan yang mengutamakan praktik-praktik keagamaan dalam konteks politik.

Meski demikian politik kurban tidak akan menjadi isu yang relevan dalam setiap pemilihan atau dalam setiap konteks politik. Relevansi politik kurban dalam dinamika kehidupan politik Indonesia jelang pemilu akan tergantung pada perubahan situasional, kebutuhan pemilih, dan strategi kampanye yang diterapkan oleh partai politik dan calon politik.

Politik religi atau politik keagamaan tidak hanya terbatas pada politik kurban. Isu-isu agama dan praktik keagamaan lainnya juga dapat menjadi bagian dari politik religi, seperti politik haji, politik puasa, atau isu-isu moral dan etika yang berkaitan dengan nilai-nilai agama.

Di sisi lainnya, yang tidak bisa terbantahkan pula bahwa pemilih memiliki beragam kepentingan dan prioritas, dan isu-isu lain seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga akan memainkan peran penting dalam politik pemilu Indonesia.

Memiliki Sensitivitas

Indonesia memiliki mayoritas penduduk Muslim, dan agama Islam memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tradisi kurban memiliki daya tarik yang kuat dalam konteks sosial dan kultural Indonesia.

Maka politik kurban dapat menjadi isu penting dalam kampanye politik yang bertujuan untuk menarik dukungan dari pemilih muslim, dan memanfaatkan nilai-nilai agama dalam konteks politik.

Politik agama semacam ini juga dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok politik untuk memperoleh kekuasaan, atau mendapatkan dukungan politik dengan memanipulasi sentimen agama. Praktik ini dapat mengaburkan fokus pada isu-isu nyata. Lantas mengarah pada keputusan politik yang tidak rasional atau tidak berdasarkan kepentingan umum.

Bersama ini harus diingat bahwa Indonesia memiliki sensitivitas terhadap isu-isu agama dalam politik. Dalam beberapa pemilihan sebelumnya, isu-isu agama dan identitas keagamaan telah memainkan peran penting dalam peta politik.

Indonesia juga telah menyaksikan adanya politisasi agama—terutama dalam beberapa tahun terakhir, di mana isu-isu agama digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan politik tertentu.

Dalam hal ini, sangat boleh politik kurban dapat menjadi salah satu bidang yang terkena dampak politisasi agama, di mana partai politik atau calon politik menggunakan tradisi kurban sebagai cara untuk memperoleh dukungan politik dengan mengaitkannya dengan narasi keagamaan dan identitas agama.

Ketika isu-isu agama, termasuk tradisi keagamaan seperti kurban, digunakan secara eksklusif atau dengan cara yang memperkuat polarisasi agama dalam konteks politik, hal ini dapat menyebabkan kemunculan politik agama yang ekstrem. Atau penggunaan politik identitas agama sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan politik.

Karuan saja politik agama yang divisif dapat memperkuat polarisasi antara kelompok agama, menciptakan keterpisahan sosial, dan berpotensi memicu konflik antara pemeluk agama yang berbeda. Ini dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial, serta mengancam kerukunan antarumat beragama di Republik Indonesia berideologi Pancasila.

Bersama ini politik agama yang ekstrem juga dapat mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, dan mengakibatkan diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas atau kelompok non-agama. Secara holistik, hal ini dapat merugikan hak-hak asasi manusia dan mengurangi keadilan sosial dalam masyarakat.

Kendati demikian tidak semua politik agama memiliki dampak negatif. Ada juga kasus di mana politik agama dapat memberikan kontribusi positif, seperti advokasi untuk keadilan sosial, pemberdayaan masyarakat, atau perlindungan hak-hak agama minoritas.

Dalam setiap konteks politik, penting untuk mengawasi penggunaan politik agama dengan cermat dan mendorong pendekatan yang inklusif, demokratis, dan menghormati hak-hak semua warga negara.

Puan Maharani dan Anies Baswedan berangkat ibadah haji, semoga menjadi hajjah dan haji yang mabrur. Al hajjul mabruru. Amiiin.

Sumber: Kumparan

Translate