Home » Ekspansi Politik Keluarga Jokowi
Culture Demokrasi Featured Global News Indonesia Lifestyle News Politics Politik

Ekspansi Politik Keluarga Jokowi

Di akhir pekan ini saya ingin mengajak Anda membaca kembali sebuah buku penting yang ditulis dua ilmuwan politik Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Judulnya, How Democracies Die. Buku ini lebih banyak bercerita tentang Amerika Serikat, terbit dua tahun setelah Donald Trump menjadi presiden, pada 2018.

Isinya tentang bagaimana demokrasi mati secara demokratis, di banyak negara. Buku ini mengingatkan kita bahwa demokrasi bisa mati oleh aktor-aktornya sendiri, yang naik ke puncak kekuasaan secara demokratis. Caranya dengan melanggar pakem-pakem demokrasi, yang tak tertulis dalam konstitusi, di luar hukum-hukum formal. Padahal, demokrasi berjalan dengan sehat, menurut dua penulis buku ini, ketika para penguasa “menahan diri memakai kekuasaan”.

Sebab ketika mereka memakai kekuasaan yang melebihi batas, mereka segera tergelincir menjadi autokrat. Donald Trump melanggar norma yang bertahan selama 157 tahun dalam demokrasi Amerika ketika menunjuk anak dan menantunya menjadi penasihatnya. Secara hukum dan konstitusi, apa yang dilakukan Trump tidak keliru, tapi tidak etis karena berpeluang terjadi nepotisme.

Cerita di buku ini mengingatkan kita pada Indonesia hari-hari ini. Presiden Joko Widodo membiarkan anak dan menantunya naik ke pucuk kekuasaan. Gibran Rakabuming Raka, anak sulungnya, menjadi Wali Kota Solo. Bobby Nasution, menantunya, menjadi Wali Kota Medan. Kini Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi, berniat maju dalam pencalonan Wali Kota Depok.

Apa yang dilakukan anak-menantu Jokowi tidak keliru. Mereka sedang menjalankan hak konstitusional warga negara. Tapi secara etika, Jokowi mencederai apa yang dulu menjadi harapan orang banyak kepadanya. Sepuluh tahun lalu, kita bergembira ada politikus seperti Jokowi yang menjadi calon presiden. Ia mencatatkan sejarah sebagai politikus yang merangkak dari bawah, berasal dari keluarga orang Indonesia kebanyakan, terlepas dari kekuatan politik lama, sehingga memancarkan harapan tentang Indonesia baru dengan demokrasi yang lebih sehat.

Kurang dari sepuluh tahun kemudian, Jokowi melukai harapan itu. Jika Suharto mengangkat anaknya sendiri, Siti Herdianti Rukmana, sebagai Menteri Sosial, Jokowi membiarkan anak menantunya naik ke tampuk kekuasaan. Kedudukannya sebagai presiden tentu berpengaruh terhadap suara pemilih yang abai terhadap bahaya dinasti politik seperti ini. Pertanyaannya, untuk apa?

Edisi pekan ini coba mengulas ekspansi keluarga Jokowi dalam politik Indonesia. Ia sudah menegaskan akan “cawe-cawe” dalam pemilihan presiden penggantinya pada 2024—sesuatu yang juga tak etis. Meski tak memiliki partai, Jokowi punya relawan—sekelompok orang yang bisa ia giring mendukung salah satu calon dalam Pemilu. Dengan modal relawan itu, Jokowi hendak mengatur siapa penggantinya, seperti kecenderungan ia mendukung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, rivalnya dalam dua kali pemilihan presiden.

Kini ia juga memupuk kekuasaan lewat anak dan menantunya. Setelah perpanjangan masa jabatan presiden dan menunda Pemilu gagal, kini ia mendorong keluarganya sendiri menjadi penguasa. Cara ini bisa dibaca sebagai strategi Jokowi tetap relevan dan punya peran dalam politik Indonesia. Dengan organisasi-organisasi relawan yang loyal membuat ia tetap diperhitungkan dalam peta politik. Dalihnya bisa macam-macam. Salah satunya, menjaga keberlanjutan program-programnya selama dua periode menjadi presiden. Atau, ya, Jokowi sudah kecanduan kekuasaan belaka.

Apa pun niat di balik manuver politik Jokowi, ia telah melakukan hal yang tak patut dalam demokrasi. Buku How Democracies Die telah mengingatkan, sistem demokrasi longsor dan melapuk di banyak negara karena para penguasa luput bertanya apa yang keliru dari apa yang mereka yakini benar.

Sumber: News Letter

Translate