Home » Peran Pemuda Melawan Politik Uang
Culture Demokrasi Featured Global News Indonesia Lifestyle News Politics Politik

Peran Pemuda Melawan Politik Uang

Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ketentuan tersebut menjadi basis legitimasi secara yuridis-konstitusional untuk menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berkedaulatan rakyat atau dikenal dengan negara demokrasi. Makna substantif dari negara berkedaulatan rakyat adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan dalam sistem penyelenggaraan negara. Pemerintahan diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Konkritnya, rakyat menjadi subyek sekaligus obyek dalam penyelenggaraan negara. 

Salah satu aspek penting terkait prinsip kedaulatan rakyat adalah perihal penyelenggaraan pemilu. Menurut Jimly Asshidiqie (2009), pemilu merupakan sarana pengejawantahan dari prinsip kedaulatan rakyat. Pemilu menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dalam konteks ini, pemilu menjadi lokomotif bagi rakyat untuk memilih pemimpin publik yang dipilih berdasarkan kontestasi politis. Kepemimpinan politis akan melaksanakan kekuasaan-kekuasaan negara (membuat kebijakan-kebijakan publik) untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat (das sollen).

Secara fungsional, pemilu memiliki beberapa nilai urgensi dalam konstelasi kehidupan demokrasi dan ketatanegaraan kita.

Pertama, sarana konstitusional perwujudan kedaulatan rakyat. Rakyat berhak dipilih dan memilih dalam pemilu. Pemilu mengkonstruksikan bahwa pelaku kekuasaan negara dalam hal ini eksekutif dan legislatif adalah dipilih dari, oleh, dan untuk rakyat.

Kedua, regenerasi kepemimpinan. Pemilu berfungsi untuk membatasi kekuasaan dan melanjutkan estafet kepemimpinan politis. Tidak ada negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara demokrasi tanpa adanya pemilu yang diselenggarakan secara periodik-reguler. Simplifikasinya, pemilu adalah kawah elektoral sebagai sarana untuk menguji elektabilitas kontestan politik di hadapan rakyat. 

Ketiga, memilih primus interpares. Pemilu adalah sarana untuk mencegah yang buruk berkuasa dan memilih yang terbaik (primus interpares) sebagai pemegang kuasa rakyat untuk menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara.

Keempat, pendidikan politik rakyat. Pemilu merepresentasikan proses, kultur, dan nilai sebagai manifestasi dan internalisasi pendidikan politik bagi rakyat.

Kelima, refleksi peradaban bangsa. Pemilu dapat merefleksikan peradaban sebuah bangsa. Keadaban dan kedewasaan sebuah bangsa akan terlihat dari bagaimana proses pemilu itu diselenggarakan dan bagaimana masyarakat menyikapi hasil dari pemilu tersebut.

Secara konstruktif, pemilu diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Asas-asas pemilu tersebut merupakan jantungnya pemilu, yang menjadi penentu apakah pemilu itu dapat bekerja secara fungsional sebagai katalisator demokrasi atau sekadar arena hegemoni dan perebutan kekuasaan semata.

Sejauh ini, pemilu Indonesia pada realitasnya masih lekat dengan berbagai kecurangan. Lemahnya penerapan asas-asas pemilu secara contrario menjadi penyebab lahirnya berbagai kecurangan-kecurangan sehingga menyebabkan pemilu hanya menjadi arena banalitas perebutan kekuasaan membabi buta yang kontradiktif dengan urgensi dan esensi pemilu itu sendiri. Kecurangan-kecurangan dalam pemilu Indonesia sendiri memiliki rekam jejaknya dalam perjalanan demokrasi Indonesia. 

Refleksi Kecurangan Pemilu

Secara retrospektif, penyelenggaraan pemilu Indonesia dari tahun ke tahun selalu dipenuhi dengan intrik kecurangan. Di era orde baru, kecurangan dalam pemilu bersifat vertikal-struktural, dalam arti, kecurangan dilakukan oleh organ kekuasaan secara sistematis dengan pendekatan by design, yakni melalui penyederhaan partai politik menjadi dua parpol plus Golkar, pengkerdilan partai politik dimana partai politik tidak boleh memiliki perwakilan di tingkat cabang dan ranting, menjadikan PNS sebagai lokomotif elektoral, menjadikan ABRI sebagai basis kekuatan elektoral, hingga penempatan orang-orang pro Soeharto dalam struktur penyelenggara pemilu. Kecurangan pemilu di era orde menekankan pada arogansi kekuasaan yang berakar pada karakter otoritarianisme.

Selepas era reformasi, kecurangan-kecurangan dalam pemilu tidak lagi bersifat vertikal-struktural melainkan bersifat horizontal-materialistik. Kecurangan di era pemilu pasca reformasi berkutat pada karakter oligarki dan intervensi aspek materiliastik seperti cukong politik, mahar politik, hingga politik uang yang sudah familiar dalam realitas publik ketika pemilu dilaksanakan.

Politik uang sendiri adalah fenomena dimana suara rakyat dibeli oleh kontestan politik dengan uang. Kuasa uang menentukan keterpilihan kontestan politik di dalam kontestasi politik. Jadi, yang menentukan keterpilihan kontestan politik dalam pemilu bukanlah rekam jejak, kemampuan, kapasitas, dan integritasnya melainkan akumulasi sumberdaya modal yang dimilikinya sebagai mesin untuk membeli dan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. 

Eksistensi politik uang dalam menentukan proses elektoral pemilu menyebabkan buruknya kualitas pemilu, karena orang-orang yang terpilih dalam pemilu adalah pihak-pihak yang tidak memiliki kapasitas dan integritas serta memiliki kepentingan politik balik modal ketika memimpin sebagai implikasi dari penggunaan politik uang yang digunakannya untuk memenangkan kontestasi politik.

Hal ini menyebabkan kekuasaan eksekutif maupun legislatif hanya dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan oportunis pribadi dan kelompoknya bukan pro pada kepentingan rakyat dan publik. Eksesnya, pemilu hanya merepresentasikan demokrasi formalitas dan demokrasi banalitas. Tarung gagasan dan ide hanya sekadar lipstick dan gimmick, yang terpenting adalah intervensi alokasi materil membeli suara rakyat. 

Realitas dan Implikasi Politik Uang

Dalam realitasnya, pemilu tidak menkonstruksikan rakyat sebagai subyek melainkan hanya dijadikan obyek untuk meraup suara dan meraih kekuasaan semata. Rakyat hanya diperlukan sebagai pendulang suara dengan imbalan politik uang. Burhanuddin Muhtadi dalam buku hasil penelitiannya, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (2020) menjelaskan bahwa politik uang dalam kontestasi politik mengejawantah menjadi relasi respirokal yang bersifat simbiosis mutualistik antara pemilih (masyarakat) dengan kontestan politik. 

Menurut data dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem:2019) eksistensi praktik politik uang dalam pemilu dan pilkada masih memiliki daya eksistensi. Pada pemilu 2019 terdapat 554 laporan mengenai praktik politik uang, pilkada 2018 terdapat 40 laporan, pilkada 2015 terdapat 204 laporan, dan pilkada 2017 sebanyak 910 laporan. Data ini sangat mungkin hanya menjadi fenomena gunung es belaka, karena dalam realitasnya eksistensi politik uang dalam masyarakat menjadi fenomena laten yang relatif masif dijumpai di saat kontestasi politik.

Kontestasi        Jumlah Laporan Politik Uang
Pemilu 2019:    554 laporan
Pilkada 2018:    40 laporan
Pilkada 2017:    910 laporan
Pilkada 2015:    204 laporan
Data: Perludem 2019

Eksistensi politik uang dalam kontestasi politik memiliki beberapa efek derivatif yang negatif terhadap iklim demokrasi. Pertama, kualitas kepemimpinan politik rendah. Eksistensi politik uang menyebabkan kontestan yang terpilih adalah pihak-pihak yang menggunakan dan bermain politik uang, hal ini menyebabkan kualitas kepemimpinan politik rendah, yang berimbas pada rendahnya kualitas pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik.

Kedua, menyebabkan praktik korupsi. Kontestasi yang sarat jual-beli suara berimbas pada terwujudnya kekuasaan yang koruptif, karena kekuasaan dijadikan lahan balik modal. Menurut data KPK (2020) berikut data pejabat politik yang terjerat kasus korupsi.

Jabatan                Tahun 2016    Tahun 2017    Tahun 2018    Tahun 2019    Tahun 2020
Kepala Daerah    10 orang         14 orang         32 orang         19 orang        10 orang
DPR/DPRD           23 orang        20 orang         130 orang       10 orang        23 orang
Data: KPK 2020

Ketiga, merusak demokrasi. Pemilu adalah sarana demokrasi sebagai katalisator untuk membawa perubahan positif bagi bangsa. Akan tetapi, esensi pemilu ini menjadi rusak karena eksistensi dan praktik politik uang. Politik uang menyebabkan ruang demokrasi menjadi lahan transaksional belaka, sehingga yang terwujud hanyalah demokrasi prosedural atau pseudo democrazy. Keempat, apatisme calon potensial. Eksistensi politik uang menyebabkan orang-orang yang sarat potensial duduk sebagai pejabat politik menjadi enggan terjun dalam politik praktis. Karena keterpilihan seseorang dalam kontestasi politik ditentukan oleh uang bukan kapasitas.

Akar Politik Uang

Burhanuddin Muhtadi dalam buku hasil penelitiannya, Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (2020) mengatakan bahwa eksistensi politik uang dalam pemilu disebabkan oleh aspek-aspek strategis yang dibedakan menjadi dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas beberapa aspek.

Pertama, oportunitas parpol. Lemahnya sistem kaderisasi dalam internal parpol, praktik mahar politik, dan acessible parpol untuk penggunaan politik uang dalam memenangkan kontestasi pada akhirnya turut menyuburkan praktik politik uang. Kedua, lemahnya sistem pengawasan pemilu. Pengawasan pemilu terlihat sekadar formalitas belaka, maraknya praktik politik uang di lapangan tidak pernah ada tindakan dan sanksi tegas, hal ini menyebabkan praktik politik kemudian menjadi budaya yang tumbuh subur di kala pemilu.

Faktor eksternal terdiri atas beberapa aspek. Pertama, kemiskinan masyarakat tinggi. Kemiskinan menyebabkan independensi masyarakat menjadi lemah untuk menolak politik uang. Kedua, pendidikan politik masyarakat rendah. Rendahnya pendidikan politik masyarakat menyebabkan masyarakat tidak menyadari daya tawar dan peran pentingnya dalam kontestasi pemilu. Ketiga, rendahnya daya dukung sosial. Masyarakat masih permisif terhadap praktik politik uang. Masyarakat relatif menganggap politik uang sebagai normalitas dalam praktik politik. Fenomena ini menjadi faktor kuat yang turut menyuburkan praktik korupsi.

Kekuatan Strategis Pemuda Melawan Politik Uang

Secara empiris, intervensi politik uang dalam politik praktis memiliki dampak destruktif yang besar. Politik uang merusak tatanan demokrasi, menjadikan rakyat sekadar obyek mencapai kekuasaan, melemahkan kualitas kepemimpinan, dan menyuburkan praktik korupsi. Situasi ini membuat kondisi negara mengalami turbulensi menuju kemunduran. Oleh sebab itu, diperlukan suatu langkah simultan dari pihak-pihak yang memiliki potensi dan kapasitas strategis untuk melawan praktik politik uang. Salah satu pihak yang memiliki potensi dan kapasitas strategis untuk melawan praktik politik uang adalah kaum pemuda.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting  pertumbuhan dan perkembangan dari usia 16 hingga 30 tahun. Berdasarkan kualifikasi tersebut, pemuda memasuki masa produktif sehingga memiliki potensi strategis sebagai agen perubahan, terlebih kalkulasi sumberdaya usia pemuda terbilang sangat besar (bonus demografi). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri pada tahun 2022, terdapat 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia yang termasuk usia produktif (15-64 tahun), dimana sekitar 90 juta jiwa merupakan penduduk dengan rentang usia 16-30 tahun (pemuda).

Pemuda beberapa memiliki kekuatan strategis untuk melawan praktik politik uang. Pertama, kekuatan demografis. Pemuda memasuki era bonus demografis dimana jumlah kaum pemuda saat ini sebesar kurang lebih 90 juta jiwa. Secara reflektif, realitas ini merupakan modal sosiologis yang potensial untuk dimobilisasi untuk melakukan gerakan transformatif.

Kedua, kekuatan idealisme. Pemuda selalu identik dengan idealisme, hal ini merupakan konsekuensi logis secara alami, bahwa pemuda realitf belum memiliki kepentingan yang bersifat materialistis-individualistis, pemuda memiliki gairah yang besar untuk memperjuangkan nilai-nilai idealisme.

Ketiga, kekuatan keberanian. Secara psikologis, pemuda memiliki semangat dan keberanian yang membara serta memiliki sifat rela berkorban dan perjuangan dalam menggapai tujuan yang besar.

Keempat, kekuatan kritisisme. Pemuda pada prinsipnya memiliki rasa kepekaan sosial yang tinggi, hal ini merupakan kondisi genetik yang melekat pada pemuda. Pemuda cenderung bersifat reaktif dan kritis dalam menyikapi realitas sosial yang merugikan kepentingan publik.

Kelima, kekuatan intelektual. Pemuda dengan rentang usia 16-30 tahun merupakan fase bagi manusia sebagai kaum terpelajar baik sebagai siswa maupun mahasiswa. Maka dari itu, pemuda memiliki kapasitas intelektual untuk menjaga idealisme dan membangun diskursus guna menciptakan langkah-langkah solutif bagi permasalahan publik.

Langkah Melawan Politik Uang

Pertama, membangun gerakan nasional melawan politik uang. Kekuatan demografis pemuda harus didayagunakan untuk melakukan mobilisasi vertikal melalui pembangunan gerakan nasional melawan politik uang. Pemuda di seluruh Indonesia harus bersinergi dalam satu wadah gerakan sosial atas dasar satu visi besar yang sama yakni memberantas praktik politik uang. Gerakan nasional melawan politik uang harus digalakkan secara nasional dan kontinu. Dalam gerakan ini, akan dibuat rumusan visi dan strategis-strategis praktis dalam menangkal praktik politik uang yang sifatnya berjenjang, masif, sistematis, dan konsisten.

Kedua, membangun sinergi dengan sentra gakumdu (penegak hukum terpadu). Penegakan hukum terhadap praktik politik uang diproses melalui sentra penegakan hukum terpadu (gakumdu) yang melibatkan Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Berdasarkan mekanisme tersebut, maka pemuda dapat membangun sinergi melalui MOU untuk berperan sebagai mitra gakumdu, yang memiliki fungsi untuk mengkanalisasi dan melaporkan praktik politik uang. Dengan partisipasi pemuda, maka akses gakumdu untuk mendapat laporan praktik politik uang menjadi semakin mudah dan luas.

Ketiga, Advokasi politik kepada masyarakat. Salah satu aspek mengapa politik uang terus memiliki daya eksistensi dalam realitas sosial-politik adalah karena masyarakat relatif masih permisif terhadap praktik politik uang. Kondisi ini disebabkan oleh rendahnya pendidikan politik masyarakat, sehingga mereka tidak menyadari daya tawarnya dalam kontestasi politik. Maka dari itu, pemuda harus terjun langsung untuk memberikan advokasi politik kepada masyarakat. Pemuda dapat masuk melalui seminar desa, rapat musyawarah desa, dan video adukasi politik yang disebarkan di grup-grup wa publik. Untuk melakukan advokasi politik secara masif dan simultan, pemuda dapat bersinergi dengan civil society maupun kampus terdekat.

Keempat, mendorong DPR dan pemerintah membuat kebijakan tes kompetensi dasar bagi bakal calon eksekutif maupun legislatif. Pemuda harus membangun kritisisme dengan mendorong pemerintah dan legislatif untuk membuat kebijakan menerapkan tes kompetensi dasar yang meliputi intelegensi umum dan wawasan kebangsaan dengan standar nilai minimum yang harus terpenuhi. Jika lolos tes ini, kontestan politik baru berhak maju menjadi calon. Ini merupakan sarana penyaring untuk mendapatkan calon berkapasitas dan meminimalisir praktik politik uang.

Kelima, membangun mou dengan parpol pakta integritas anti politik uang. Pemuda harus bergerak aktif untuk membangun sinergi dengan parpol. Membangun daya tawar dengan melakukan bergaining melalui mou pakta integritas dengan parpol untuk menolak penggunaan praktik politik uang sebagai kontrak politik untuk mewujudkan iklim persaingan politik yang kondusif dan konstruktif.

Sumber: Times Indonesia

Translate