Home » Iklim Pemilu di Tengah Ancaman Krisis Iklim
Asia Election Indonesia News Politics

Iklim Pemilu di Tengah Ancaman Krisis Iklim


Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 memberikan gambaran bahwa Pemilu 2024 hanya tinggal beberapa bulan lagi. Berbagai isu yang menyertai pelaksanaan pemilu mulai bermunculan dan menjadi bahan perbincangan hangat diberbagai media dan kalangan dari mereka yang di pemerintahan, penyelenggara pemilu, bakal calon peserta pemilu sampai pedagang asongan sampai obrolan kopi pinggir jalan.

Berbagai isu-isu yang muncul inilah kemudian mempengaruhi pada iklim politik saat ini. Tetapi dari berbagai isu yang akhir-akhir ini santer dibicarakan, sebagian besar masih berkutat pada tema-tema teknis penyelenggaraan pemilu, politik yang berorientasi pemenangan maupun kekuasaan dan ekonomi, seperti perpanjangan masa jabatan presiden, penundaan pemilu, politik identitas atau SARA, sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup serta koalisi parpol dan seputarannya.

Sedangkan tema lain seperti pariwisata, kebudayaan, olahraga khususnya hanya menjelang Piala Dunia U-20, dan sebagainya porsinya masih sangat sedikit. Tema-tema tersebut tentu juga harus mendapat perhatian tersendiri terutama bagi partai politik, penyelenggara pemilu maupun kelompok yang memiliki kepentingan terhadap pelaksanaan Pemilu 2024. Tapi yang perlu disadari bersama bahwa masih banyak isu lain yang juga layak diangkat dan mendapat perhatian berbagai kalangan, terutama tema yang secara langsung mempengaruhi hidup dan kehidupan masyarakat, di antaranya adalah tema lingkungan dan iklim global.
Lingkungan dan iklim harus menjadi tema di tengah berlangsungnya proses demokrasi elektoral ini bukan tanpa alasan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Catherine Finn, Daniel Pincheira-Donoso, serta Florencia Grattarola dari Czech University of Life Sciences Prague dan telah dipublikasikan oleh Jurnal Biological Review pada 15 Mei 2023 memberikan gambaran bahwa tren populasi lebih dari 71.000 spesies hewan terancam kepunahan (defaunasi).

Hal itu diperkuat oleh pernyataan World Economic Forum pada The Global Risk Report 2019 bahwa perubahan iklim menempati posisi paling atas sebagai penyebab musibah global, seperti bencana alam, cuaca ekstrem, krisis pangan dan air bersih, hilangnya keanekaragaman hayati, dan runtuhnya ekosistem.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan mencatat 95 persen bencana yang terjadi pada 2022 merupakan bencana hidrometeorologi, yaitu banjir dan longsor. Bencana dalam kelompok hidrometeorologi merupakan yang terbanyak, dengan kecenderungan mengalami peningkatan yang dipicu oleh perubahan iklim. Secara keseluruhan, kajian Bappenas menunjukkan, dampak perubahan iklim berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara HSBC Summit 2022 dengan tema “Powering the Transition to Net Zero”, 14 September 2022 juga pernah menyampaikan bahwa perubahan iklim dapat memiliki dampak yang lebih luas dan signifikan bagi negara-negara di dunia dibandingkan dengan pandemi Covid-19. Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa secara bertahap, tekanan Inflasi dapat timbul akibat gangguan rantai pasokan Nasional dan Internasional akibat perubahan cuaca seperti kekeringan, banjir, badai, dan kenaikan permukaan air laut yang berpotensi mengakibatkan kerugian finansial yang besar.

Indonesia diperkirakan berpotensi mengalami kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai Rp 112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada 2023. Pada kesempatan itu juga, Menkeu juga menyatakan beberapa komitmen pemerintah Indonesia untuk memerangi perubahan iklim melalui Paris Agreement dengan mengurangi 29 persen emisi CO2 dengan upaya sendiri dan mengurangi 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Komitmen lain juga ditunjukkan melalui kebijakan fiskal yang mendukung inisiatif transisi energi, di antaranya melalui penerapan pajak karbon sebagai skema penetapan harga karbon untuk mendorong kegiatan ekonomi rendah karbon. Tinggal bagaimana kita tunggu dan terus kita ingatkan dan tagih aplikasi dari komitmen tersebut.

Perlu ditandaskan, dari pernyataan Sri Mulyani tersebut adalah bahwa perubahan iklim ini juga memberi dampak serius terhadap berbagai sektor, di antaranya sektor kesehatan, pertanian, perekonomian. Selain itu, migrasi terpaksa (involuntary migration) akibat perubahan iklim berujung pada ketidakstabilan sosial dan politik yang mendalam. Berdasarkan pemaparan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa bahaya perubahan iklim bukan sekedar isapan jempol belaka.

Di antara sebab terbesar atas terjadinya perubahan iklim ialah aktivitas manusia yang berakibat pada peningkatan suhu permukaan bumi (global warming). Global warming sendiri terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Hal ini dinyatakan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah wadah komunikasi internasional mengenai perubahan iklim pada 2007.

IPCC juga menyatakan bahwa penyebab terbesar global warming adalah hasil kegiatan manusia. Sedangkan berbagai aktivitas manusia ini juga tidak lepas dari adanya kebijakan global maupun kebijakan pada setiap negara serta penegakan hukum, terutama hukum lingkungan dan eksploitasi alam yang memungkinkan segala aktivitas tersebut memberi sumbangan terhadap kerusakan lingkungan dan iklim secara lebih luas.

Kegiatan-kegiatan seperti penebangan pohon secara masih (deforestasi), pengelolaan sampah yang buruk, berbagai aturan yang kurang bijak dan kurang mempertimbangkan kearifan alam terutama seperti kebijakan tentang tentang fungsi lahan, tambang dan penggunaan bahan bakar dari hasil tambang seperti batu bara dan juga kebijakan pendirian dan pengawasan terhadap industri-industri besar yang menghasilkan polusi dipastikan mempengaruhi peningkatan emisi gas rumah kaca.

Berbagai kebijakan tersebut bisa menjadi pedang bermata dua. Program dan kebijakan yang awalnya bertujuan untuk fasilitasi dan kemudahan untuk masyarakat maupun atas nama pembangunan justru berakibat pada sesuatu yang harus dibayar lebih mahal di kemudian hari. Meskipun saat ini masih isu iklim dan lingkungan ini masih kurang popular di kalangan masyarakat umum, tetapi pemerintah dan masyarakat sudah seharusnya lebih sadar dan antisipatif.

Kampanye kesadaran semacam ini harus terus disebarluaskan melalui berbagai media sehingga kesadaran akan dampak buruk dari adanya perubahan iklim ini bisa dicegah sedari dini. Peran para pembuat kebijakan terutama di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, perguruan tinggi serta para pegiat lingkungan harus menjadi lokomotif gerakan kesadaran melalui upaya sosialisasi serta berbagai kebijakan dan program yang tuangkan melalui undang-undang maupun peraturan terkait, sehingga mampu memicu sekaligus memacu masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan, iklim demi kelestarian bumi dan spesies di dalamnya.

Berkaitan dengan berbagai hal di atas, mari bersama-sama untuk meningkatkan kesadaran sekaligus mengingatkan para pemegang kebijakan publik baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif serta para kontestan Pemilu 2024 yang notabene merupakan calon pembuat dan pemegang publik juga pihak terkait lainnya untuk membangun niat dan kesadaran untuk menjaga merawat serta menjaga bumi, tanah, air dan lingkungan hidup agar keselamatan dan kemaslahatan generasi bangsa lebih baik ke depannya. Tawaran program kerja berbasis kepedulian terhadap lingkungan di antara deretan program-program kerja lain di berbagai model kampanye sangat ditunggu masyarakat, sehingga iklim demokrasi menjelang Pemilu 2024 ini juga akan membawa pengaruh positif bagi iklim dan lingkungan di masa depan.

Pentingnya menjadikan tema iklim dan lingkungan dalam kontestasi Pemilu 2024 bukan tanpa alasan. Sebagaimana diungkap melalui survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), bahwa lingkungan merupakan salah satu isu strategis yang mendapat perhatian tinggi para pemilih muda, selain kesehatan, ketenagakerjaan, demokrasi, dan pemberantasan korupsi. Hasil survei ini menunjukkan bahwa mayoritas (76,9 persen) pemilih muda berpendapat bahwa lingkungan dan perubahan iklim merupakan isu yang mendesak ditangani, karena mereka mengaku sudah merasakan lingkungan hidup semakin rusak.

Kepedulian pemilih muda pada isu-isu strategis ini diprediksi lebih tinggi dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Hal ini juga selaras dengan survei terdahulu yang menyatakan mayoritas responden (82 persen) berusia 17-35 tahun mengetahui isu perubahan iklim. Isu yang paling mereka khawatirkan, di antaranya kerusakan lingkungan (82 persen) dan perubahan iklim (70 persen), termasuk meningkatnya cuaca ekstrem, seperti banjir, angin topan, dan kekeringan.

Survei global di 14 negara juga menunjukkan hasil serupa, perubahan iklim tetap menjadi isu lingkungan paling penting. Sekitar enam dari 10 responden (57 persen) mengatakan mereka akan menolak memberikan suara untuk partai politik yang kebijakannya tidak menanggapi perubahan iklim dengan serius. Sehingga Pemilu 2024 harus menjadi agenda politik sangat krusial terhadap perbaikan lingkungan dan antisipasi dampak buruk iklim global, khususnya di Indonesia, karena seluruh rakyat Indonesia akan memilih presiden hingga kepala daerah serta wakil rakyat secara serentak.

Demikian juga, sisa akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi saat ini juga harus segera menunjukkan komitmennya dalam menangani krisis iklim, seperti disampaikan oleh Sri Mulyani di atas. Sementara penyelenggara pemilu harus memasukkan tema-tema lingkungan dan iklim dalam agenda-agenda penyelenggaraannya seperti dalam agenda debat capres-cawapres sampai dengan debat cabup-cawabup, sehingga tema dan isu iklim ini menjadi arus penting dalam iklim demokrasi elektoral yang saat ini sedang berlangsung.

Sumber : Detiknews

Translate