Home » 60 Tahun OPM Vs Pemerintah RI
Featured Global News Indonesia News Politics

60 Tahun OPM Vs Pemerintah RI


Sudah 60 tahun OPM tak kunjung bisa diatasi. Masyarakat bertanya, ada apa sehingga masalah OPM ini tak selesai? Apa ada kepentingan bisnis atau kepentingan politik lain di balik itu sehingga masalah belum juga tuntas?

Sejak 1 Mei 1963 hingga 1 Mei 2023—berarti sudah 60 tahun—soal Organisasi Papua Merdeka atau OPM terus mengganggu ketenangan Indonesia, tetapi masalah OPM tak kunjung bisa diatasi.

Masyarakat awam di seluruh Nusantara terus bertanya, ada apa sehingga masalah OPM ini tak selesai? Apa ada kepentingan bisnis atau kepentingan politik lain di balik itu sehingga masalah tak kunjung tuntas?

Kedua pertanyaan itu butuh jawaban jelas dari pemerintah sehingga masyarakat awam tak khawatir. Tekad kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia harus utuh dari matahari terbit hingga matahari terbenam, dari Merauke hingga Sabang.

Negara modern seperti Indonesia memiliki tiga karakteristik yang jelas. Pertama, memiliki suatu wilayah lengkap dengan garis perbatasannya dari Merauke hingga Sabang. Kedua, memiliki kendali eksklusif atas wilayah NKRI. Ketiga, memiliki hierarki politik negara tertinggi, yang menetapkan peranan dan kekuasaan provinsi-provinsi sebagai bagian dari NKRI.

Namun, ketiga karakteristik itu tak berhasil dalam mengendalikan kedaulatan teritorialnya karena ada pergolakan sejak Indonesia merdeka, sehingga muncul persoalan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dan OPM di Papua.

Di Indonesia, pengendalian atas gerakan OPM sangat rapuh karena ada pelabelan yang keliru sejak 1963.

Pelabelan keliru

Di Indonesia, pengendalian atas gerakan OPM sangat rapuh karena ada pelabelan yang keliru sejak 1963. Label itu sangat berpengaruh terhadap tindakan pemerintah dalam mengendalikan wilayah teritorialnya. Para politisi dan pebisnis bertengkar soal siapa yang paling berhak mengelola wilayah Papua dari segi aspek bisnis. Pemerintah RI juga tak tinggal diam, tetapi dalam pelaksanaannya kadang keluar dari rel.

Negara wajib hukumnya untuk melindungi orang asli Papua (OAP) agar tak musnah dan menyejahterakan mereka sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air dalam wadah NKRI.

Pertanyaan lain, mengapa negara teritorial berdaulat seperti NKRI muncul sebagai bentuk dominan organisasi politik yang menguasainya? Ini melahirkan prosedur pengambilan keputusan yang kaku. Selain itu, perhatiannya kurang terpusat pada filosofi pembangunan, yaitu mengatasi kemiskinan, membuka lapangan kerja, dan ikut mendorong pertumbuhan di provinsi-provinsi agar ikut menopang pertumbuhan nasional.

Ketiga, tak fokus pada sifat pembangunan untuk menyejahterakan rakyat, yaitu tematik, holistik, integratif, spasial, dan sustainable (THISS). Ini mengakibatkan penguasa dan yang dikuasai (pemerintah pusat dan daerah) sering berbeda dalam bahasa dan tindakan, karena ada faktor-faktor kepentingan baik di pemerintahan maupun di kalangan parpol.

Yang jadi korban akhirnya rakyat kecil yang tak berdosa, yang setiap kali pemilu memilih mereka untuk jadi ”penyambung lidah” mereka agar bisa sejahtera. Akhirnya, ini membuat kedaulatan terpecah, khususnya di Papua, OPM dapat berkembang baik di dalam negeri dan di luar negeri. Reformasi yang kita dengungkan sejak 1998 tak bermakna sama sekali, malah yang berkembang adanya politik kepentingan.

Dapat disimpulkan, pertama, para pemimpin politik di masa lalu dan kini memakai politik yang mengadu domba masyarakat setempat. Mereka bukan membangkitkan semangat nasionalisme, justru menjalankan politik yang buas dan aneh guna mempertahankan kedudukan dan menguras kekayaan bagi kepentingan sendiri/kelompok.

Kedua, kekerasan yang didesentralisasi ditujukan untuk menghancurkan bangsa sendiri. Ketiga, negara gagal melindungi warganya, terutama di Papua, sehingga ekonomi masyarakat Papua tak berkembang karena dijarah para elite politiknya. Tak mudah membangun rasa nasionalisme di antara OAP karena faktor-faktor tersebut.

Sudah 60 tahun kelompok OPM ini melawan Pemerintah RI. Banyak korban berjatuhan, baik di pihak pemerintah maupun pihak masyarakat Papua.

Pasukan pembangkang

Konvensi Geneva 1949 (Hukum Humaniter) membagi dua konflik: (1) Protokol Tambahan I Tahun 1977 berlaku untuk konflik bersenjata internasional; (2) Protokol Tambahan II Tahun 1977 berlaku untuk konflik bersenjata non-internasional atau konflik bersenjata internal.

Pasal 1 Ayat (1) Protokol II Konvensi Geneva 1949 mengatur tentang konflik bersenjata internal di wilayah suatu negara, dan nomenklatur yang dibe- rikan pada kelompok yang ingin memisahkan diri ini adalah pasukan pembangkang bersenjata (dissident armed forces/DAF). Contoh di Aceh adalah GAM dan di Papua adalah OPM.

Konflik bersenjata internal merupakan konflik bersenjata yang melibatkan angkatan bersenjata (militer) suatu negara melawan DAF dalam suatu negara, dalam hal ini NKRI. Pertanyaan berikutnya, apa OPM penuhi syarat sebagai DAF?

Jawabannya memenuhi, sesuai Pasal 1 Ayat (1) Protokol II 1997 Konvensi Geneva 1949, yaitu: (1) memiliki suatu komando yang bertanggung jawab; (2) punya kemampuan untuk melaksanakan pengawasan terhadap sebagian dari wilayahnya; (3) dapat melakukan operasi militer secara terus-menerus dan bersama-sama; (4) harus tunduk pada ketentuan Protokol II 1977 Konvensi Geneva 1949.

Hal ini diakui oleh kelompok tersebut, yakni bahwa mereka bukan ”kriminal”, tetapi justru mereka adalah ”kombatan”.

Sebagai negara anggota PBB, Pemerintah RI punya dasar untuk bertindak yang jelas, yaitu (1) sengketa bersenjata non-internasional (internal) sesuai Pasal 3 Konvensi Geneva 1949, Protokol II 1977; (2) terjadi di wilayah suatu negara; (3) tak mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri dari negara induk; (4) perlawanan terhadap pemerintah induk yang sah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum secara universal.

Pasal 1 Ayat (1) Protokol II Konvensi Geneva 1949 jelas mengatur: ”Apabila Pasukan Pembangkang Bersenjata atau kelompok bersenjata lainnya yang terorganisasi (other organized armed groups) yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pasukan resmi pemerintah”, Pemerintah RI harus mengumumkan dan menetapkan OPM sebagai pasukan pembangkang bersenjata.

Dengan demikian, operasi militer dapat dilaksanakan sesuai hukum internasional dalam rangka mempertahankan keutuhan wilayah NKRI [Resolusi Majelis Umum PBB No 2625 (XXV) Tahun 1970 dan UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara].

Harus dalam koridor hukum yang ada sesuai hukum HAM (UU No 26/2000) dan hukum humaniter (UU No 59/1958) dan harus memperhatikan tak adanya dampak ikutan (collateral damage) berupa salah tangkap, salah interogasi, salah tembak, pemerkosaan, pembakaran kampung/desa, dan lain- lain karena masuk dalam rumpun pelanggaran HAM (Piagam PBB, Pasal 2 Ayat (4) ataupun Pasal 4 UU HAM No 39/1999).

Sumber: Kompas

Translate