TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar melakukan manuver dan mendukung serta menjadi cawapres yang akan mendampingi Capres Anies Rasyid Baswedan dalam kontestasi Pilpres pada Pemilu 2024 mendatang. Hal ini tentu membuat Partai Demokrat merasa kesal, sebabnya adalah nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang digadang-gadang akan menjadi cawapres dari Anies Baswedan.
Akan tetapi, bak cinta bertepuk sebelah tangan, Partai Nasdem dan Capres Anies Baswedan telah menyetujui kerja sama politik antara Partai Nasdem dan PKB. Dimana dalam kesepakatan itu, tertuang jika kedua partai tersebut sepakat mengusung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagap capres dan cawapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya, mengatakan jika Surya Paloh sebelumnya secara sepihak menyebut Muhaimin Iskandar sebagai pendamping dari (Cawapres) Anies Baswedan .
Kabar itu akan terungkap setelah Surya Paloh dan Muhaimin bertemu pada 29 Agustus 2023 di Nasdem Tower, Gondangdia, Menteng, Jakarta,
“Dengan sepihak dan secara tiba-tiba, Ketua Umum Partai Nasdem Bapak Surya Paloh menetapkan jika Ketum PKB Cak Imin sebagai cawapres dari Anies dan tidak ada pemberitahuan kepada pihak Demokrat dan PKS,” Ujar Riefky dalam keterangannya dilansir dari kompas.com
Menurut keterangan resminya, ia mengatakan jika sebelumnya Anies telah mengajak dan menunjuk Ketum Partai Demokrat sebagai pendampingnya dan hal itu ditegaskan dengan adanya surat yang ditulis tangan oleh Anies Baswedan yang inti dari surat tersebut adalah meminta secara resmi agar AHY berkenan menjadi Cawapresnya.
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah mengatakan jika Demokrat tidak perlu untuk keluar dan mencabut dukungannnya terhadap Anies Baswedan sebagai Capres. Hal ini mengingat posisi Partai Demokrat yang berada di barisan oposisi.
“Demokrat masih punya cukup waktu tentukan koalisi 2024, pasca tawarannya pada Koalisi Perubahan ditolak, mereka semestinya bisa tetap bertahan mengingat posisi mereka dalam iklim politik saat ini yang berada di oposisi, tentu bagus jika berseberang dengan Ganjar atau Prabowo,” ujarnya kepada TIMES Indonesia pada Sabtu (02/09/23).
Dedi juga mengatakan jika memang Demokrat sudah memutuskan untuk hengkang, maka ada dua pilihan yang bisa dilakukan, pertama membangun koalisi baru dan kedua pindah haluan dan bergabung dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo sebagai capres.
“Jika dirasa tidak memungkinkan (untuk bertahan), mereka punya dua pilihan. Pertama, membangun koalisi baru dengan mengajak serta PKS dan PPP untuk usung AHY-Sandiaga, meskipun ini sulit karena PKS cenderung loyal pada Anies. Kedua, Demokrat bisa bergeser ke Gerindra dan sokong Prabowo, meskipun di sini mereka juga tidak banyak peluang untuk posisi Cawapres,” tuturnya
Terlepas dari itu, Dedi menambahkan, jika duet Nasdem dan PKB ini cukup memiliki potensi untuk tarung hingga pemilihan. Namun, untuk berbicara kemenangan bukanlah suatu hal mudah. Apalagi jika Ganjar dan Prabowo juga mengusung cawapres dari golongan NU.
“Dari sisi kebutuhan politik Nasdem dan PKB, duet ini potensial solid hingga ke pemilihan, tetapi untuk menang, bukan perkara mudah, terlebih jika rival yang muncul nanti ada dari kalangan NU. Maka Muhaimin harus bekerja lebih keras,” tutup Dedi menanggapi keluarnya Partai Demokrat dari KPP.
Sumber : TIMES Indonesia