Lahir dan besar di Sumatera Barat, Tom Ilyas terpaksa kehilangan kewarganegaraan Indonesia setelah meminta suaka politik ke Swedia.
Saat peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap komunis pada tahun 1965-1966, Tom baru saja menyelesaikan tugasnya di Tiongkok dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI saat itu dan belajar mekanisasi pertanian. “Paspor saya ditahan oleh KBRI Peking [nama Beijing saat itu,” ujarnya.
“Setelah menunggu lima tahun lebih saya tetap tetap tak bisa pulang, pada akhir 1972 saya memutuskan meninggalkan RRT, minta suaka politik di Swedia,” katanya kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya. Ia adalah satu dari satu dari ribuan warga Indonesia yang diasingkan di luar negeri karena alasan politis, atau sebutannya eksil. Menurut Tom, yang sudah berstatus warga negara Swedia, apa yang dialami warga Indonesia di luar negeri saat itu tidak terpisahkan dari pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di tahun 1965-1966 di Indonesia.
Ia juga meminta masalah ini diselesaikan secara nasional dengan mengungkapkan kebenaran, menetapkan pelakunya, mengeluarkan pernyataan maaf, serta merehabilitasi para korban. ‘Tidak ada perubahan apa-apa’ Awal bulan Mei lalu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan 39 eksil di tahun 1965 kini dinyatakan bukan pengkhianat negara karena dikirim pemerintah Indonesia saat itu ke luar negeri untuk belajar.
Tom mengatakan ia tidak mengetahui siapa 39 orang tersebut, selain juga mempertanyakan apakah eksil lainya yang tidak termasuk, tetap dianggap pengkhianat.
Menurutnya, pernyataan Mahfud tidak mempertegas sikap pemerintah terhadap para eksil. “Saya merasa tidak ada perubahan apa-apa, tidak ada yang baru, masih sama dengan sikap Orde Baru rejim militer Suharto,” kata Tom. “Pernyataan Mahfud MD tidak menyebut adanya perubahan status hukum terhadap peristiwa tersebut karena TAP MPRS 25 tahun 1966 masih berlaku.” Tom mengakui jika pemerintahan Indonesia setelah berakhirnya Order Baru lebih demokratis. “Tetapi dalam masalah sikap terhadap kejadian 30 September 65, semuanya, mulai dari Presiden Habibie sampai ke Presiden Jokowi mengambil sikap yang sama dengan versi Orde Baru.” “Pemerintahan-pemerintahan zaman reformasi tak ada yang proaktif menghilangkan stigma buruk masyarakat atas korban dan keluarganya sebagai pengkhianat negara dan komunis, kecuali Pemerintahan Gus Dur.” Eksil mendapatkan stigma Soe Tjen Marching adalah dosen senior di Departemen Asia Tenggara di SOAS University of London asal Surabaya, menulis buku mengenai para eksil asal Indonesia berjudul “Yang Tidak Kunjung Padam, Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman”.
“Beberapa penelitian mengatakan ada sekitar seribu warga Indonesia yang paspornya disita setelah peristiwa 1965,” katanya kepada ABC Indonesia. Ia juga mempertanyakan nasib eksil lainnya yang tidak termasuk 39 eksil yang kini statusnya bukan pengkhianat bangsa. “Apakah pemerintah Indonesia ingin mendiskriminasi sebagian eksil politik lainnya?” Ia juga menyayangkan pernyataan Menko Mahfud MD yang tidak akan menghapus Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor 25 Tahun 1966, tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan penyebaran ideologi komunisme dan sejenisnya. Menurutnya pemerintah Indonesia tidak memperhatikan dampak dari ketetapan tersebut terhadap stigma yang melekat pada para eksil politik. “Beberapa eksil politik yang bisa kembali ke Indonesia kadang masih menghadapi stigma berkenaan dengan komunisme.” “Beberapa di antara mereka bahkan menghadapi penolakan dar keluarga mereka sendiri karena stigma tersebut.” Bagaimana korban tragedi 1965 di dalam negeri? Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar mengatakan pernyataan pemerintah baru-baru ini mengenai eksil politik menimbulkan pertanyaan mengenai para korban tragedi 1965 di dalam negeri.
“Langkah awal yang dipilih oleh pemerintah dengan memberikan pengembalian nama baik bagi korban yang berada di luar negeri menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan korban-korban lainnya,” kata Wahyudi kepada ABC Indonesia. Menurut Wahyudi, meski sudah ada bantuan yang diberikan kepada korban tragedi pembantaian orang-orang yang dituduh komunis, tapi mereka belum dianggap sebagai bagian dari penyelesaian secara menyeluruh. “Ya kalau di dalam negeri sejauh ini yang diberikan baru bantuan medis, psikologis dan psikososial sosial yang melalui mekanisme Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,” katanya. “Tetapi masih sangat sangat terbatas dan minimalis … baru bagian kecil reparasi yang bisa diberikan oleh negara. “Kecuali memang dari awal pemerintah sudah menyatakan tentang kerangka kerja reparasi yang bagi semua korban peristiwa 65.”
Sumber: JPNN