Sebagai negara hukum, peran peraturan perundang-undangan di Indonesia sangat esensial. Namun saat terjadi lonjakan peraturan, maka inovasi, pertumbuhan ekonomi, dan akses terhadap keadilan terancam tersumbat. Sebab birokratisasi akibat inflasi peraturan, saling tumpang tindih aturan, dan prosedur yang berbelit-belit akan terus menghantui.
Saat ini terdapat 1.700an peraturan pada level peraturan perundang-undangan. Belum lagi pada level peraturan pemerintah terdapat 4.800an aturan, ditambah peraturan menteri dan lembaga yang mencapai 25.000-an. Sementara peraturan daerah juga menambah jumlah daftar panjang disharmoni dan bentrokan kewenangan antarlembaga.
Segala sesuatu memang tidak perlu diatur. Namun segala sesuatu juga perlu kepastian hukum. Peraturan tertulis memang bukan ciri khas dari hukum adat dan paguyuban dalam tradisi nusantara. Namun tradisi hukum modern mendorong supaya terwujudnya pemisahan kekuasaan, check and balance yang baik, dan transparansi.
Tantangan lainnya adalah dunia usaha yang juga punya intensi untuk tidak mau diatur. Semakin banyak peraturan, dinilai dapat menghambat bisnis. Padahal untuk memastikan bisnis berjalan dengan baik tentu juga butuh peraturan yang memadai. Maka pelaku bisnis yang patuh dan punya hak atas usahanya lah yang mempunyai itikad baik mengurus perizinan dan patuh pada hukum.
Catatan menarik yang disusun oleh Matia Vannoni dan Massimo Morelli (2021) yang meneliti tentang dampak regulasi dan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat. Amerika Serikat mempunyai tradisi common law yang banyak menyelesaikan urusannya bukan melalui legislasi melainkan pengadilan.
Namun hasil riset Matia dan Massimo menunjukkan bahwa makin banyak regulasi justru makin tumbuh ekonomi Amerika. Hasil penelitian yang disusun berdasarkan data dari tahun 1965 sampai 2012 itu menunjukkan kecenderungan para pelaku bisnis lebih suka sektor yang mempunyai kepastian hukum yang tinggi.
Sementara David Parker dan Colin Kirkpatrick (OECD, 2012) meyakini bahwa tidak semua regulasi mempunyai sumbangsih pada pertumbuhan ekonomi. Regulasi yang mendukung transaksi pasar, berbasis pada prinsip efisiensi, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) lah yang bisa memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Riset Parker dan Kirkpatrick ini perlu diapresiasi dan ditambahkan pada aspek dampak lingkungan dan sosial atas sebuah regulasi juga sangat penting dilakukan. Kerangka analisis dan evaluasi puluhan ribu peraturan yang tersebar di segala penjuru negeri ini perlu dipikirkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungannya.
Beberapa Catatan terkait Omnibus
Perlu diakui bahwa diksi omnibus ini kurang popular secara sosio-politik di Indonesia. Setelah Mahkamah Konstitusi pernah membatalkannya dan demonstrasi besar-besaran menolak UU Cipta Kerja, simpati terhadap diksi omnibus bisa dikatakan minus.
Namun diksi omnibus ini sebenarnya punya fungsi yang menarik menjawab hiper-inflasi peraturan. Kita tahu semuanya, omnibus bisa menyederhanakan, mengintegrasikan dan membuat sistem hukum terurai.
Terlebih sistem ini sudah disebutkan secara resmi pada UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Disebutkan dalam peraturan tersebut, bahwa penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus (Pasal 64 ayat 1a).
Metode omnibus ini bekerja dengan memuat materi muatan baru, mengubah dan/atau mencabut peraturan perundangan yang jenis dan hierarkinya sama (Pasal 64 ayat 1b). Dengan cara ini, hiper-inflasi dan over-lapping regulasi bisa disisir secara sistematis dan komprehensif.
Pada tahun 1979, Prof Satjipto Rahardjo menulis disertasi tentang Hukum dan Perubahan Sosial. Ia menantikan koodifikasi hukum selain satu-satunya saat itu adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara di bidang perdata, hukum tata negara, hukum acara, dan seterusnya perangkat koodifikasi tidak memadai.
Omnibus mempunyai teknik dan fungsi yang sama dengan koodifikasi. Penyederhanaan yang harmonis dan sistematis diupayakan untuk menata regulasi kita.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah melakukan omnibus dari 45 peraturan menjadi 3 peraturan. Hal ini juga perlu dilakukan di setiap level peraturan dan lembaga. Mentradisikan omnibus di Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Kementerian Lembaga dan Peraturan Daerah.
Teknologi dalam Pembentukan Peraturan
Sekian banyaknya peraturan dan prospek pengembangannya akan tumbuh jika didukung oleh teknologi. Proses manual sudah dikerjakan oleh para perancang dan analis dengan kinerja yang luar biasa.
Namun dukungan teknologi sepertinya perlu segera dirumuskan. Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) sudah sedemikian hebat hari ini. Masyarakat sudah dimudahkan dengan akses dan dokumentasi hukum yang menarik.
Dukungan kecerdasan artifisial sepertinya juga perlu dikembangkan untuk membantu para perancang dan analis bekerja dengan lebih cepat dan teliti. Kesalahan titik koma dan huruf bisa berakibat fatal di dunia hukum, sementara harmonisasi dan tata letak dokumen selama ini masih dilakukan secara manual.
Di berbagai sektor, perkembangan teknologi sudah sedemikian pesatnya dikembangkan dan dimanfaatkan. Tapi di dunia hukum bisa dibilang penggunaan teknologi relatif tertinggal dibandingkan dengan bidang keuangan, kesehatan, transportasi, dan seterusnya. Padahal semua sektor tersebut perlu regulasi yang memadai untuk menjamin keperlangsungan proses bisnisnya.
Progresivitas Pembentukan Peraturan
Kualitas dari produk perundang-undangan perlu terus ditingkatkan. Semata-mata bukan untuk membuat negara hukum terlihat lebih sistematis saja, melainkan juga membahagiakan rakyatnya.
Memastikan setiap peraturan yang disusun mempunyai dampak pada kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan adalah maksim utama dalam hukum progresif. Selain itu, yang terpenting juga mengembangakan sumber daya manusia dari ekosistem pembentukan peraturan perundang-undangan.
Para perancang dan analis hukum yang progresif inilah yang perlu didorong untuk melahirkan karya-karya regulasi yang membahagiakan rakyatnya. Sebagai contoh, biro hukum yang kadang memang sangat dibutuhkan di awal sebuah perjalanan regulasi. Namun mereka itu jarang sekali terlihat prestasinya.
Para perancang dan analis hukum yang lahir dari biro hukum jarang sekali tampil. Regulasi yang baik diklaim sebagai produk lembaga. Sementara mereka sebagai perancang dan analis seolah tidak memiliki hak cipta atas redaksi yang disusun dalam regulasi tersebut.
Jika Prof Tjip menyebutkan aktor-aktor hukum progresif seperti Bismar Siregar, Adi Andojo Soetjipto, dan Benyamin Mangkudilaga, pada barisan para hakim. Maka perlu ditunjuk pula para perancang dan analis hukum yang progresif yang berjuang untuk sebuah regulasi yang membahagiakan rakyatnya.
Sumber : Tirto.ID