Dramaturgi merupakan salah satu teori sosiologi yang dikemukakan oleh Erving Goffman. Dalam teori ini Goffman menggambarkan interaksi sosial sebagai pertunjukan sandiwara. Goffman menggunakan analogi panggung sandiwara untuk menjelaskan bagaimana individu memainkan peran sosal dalam kehidupan sehari – hari.
Untuk beberapa kondisi, teori dramaturgi ini seringkali digunakan untuk menganalisis interaksi sosial tak terkecuali konsep dramaturgi elit politik di Indonesia dengan fokus pada pencitraan dan dinamika kekuasaan.
Di Indonesia, dunia politik seringkali dipenuhi dengan strategi komunikasi dan pertunjukan simbolik yang dimainkan oleh elit politik. Indonesia sendiri memiliki sejumlah 24 partai politik dengan berbagai peran di dalamnya. Peran elit politik di Indonesia sangat penting dalam proses politik dan pengambilan keputusan di negara ini.
Elit politik di Indonesia dapat bertindak sebagai pemimpin politik yang memegang peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara. Mereka termasuk presiden, anggota parlemen, kepala daerah, dan pemimpin partai politik.
Pemimpin politik ini bertanggung jawab dalam membuat keputusan politik, mengarahkan agenda nasional, dan memimpin negara dalam berbagai konteks.
Dalam konteks ini, teori dramaturgi dapat digunakan sebagai lensa untuk memahami bagaimana elit politik memanipulasi penampilan mereka untuk mencapai tujuan politik dan mempertahankan kekuasaan. Elit politik di Indonesia sering kali memainkan peran sosial yang berbeda-beda untuk menciptakan kesan yang diinginkan di mata publik.
Mereka dapat memanfaatkan media massa, pidato politik, dan kegiatan publik untuk memperkuat citra mereka sebagai pemimpin yang karismatik, berkompeten, dan peduli terhadap kepentingan rakyat.
Dalam teori dramaturgi, elit politik menjadi panggung sandiwara karena mereka mengadopsi peran sosial dan melakukan pertunjukan yang dirancang untuk mempengaruhi persepsi publik tentang diri mereka dan tujuan politik mereka. Elit politik menyadari pentingnya citra dan kesan yang mereka proyeksikan kepada publik.
Mereka secara aktif mengatur penampilan fisik, bahasa tubuh, gaya berpakaian, dan gaya bicara mereka untuk menciptakan citra yang diinginkan. Pencitraan ini seringkali bertujuan untuk memperoleh dukungan publik, membangun kepercayaan, dan mencapai tujuan politik mereka.
Elit politik sering menggunakan media sebagai panggung depan untuk mempertunjukkan citra mereka. Mereka dapat mengatur konferensi pers, wawancara televisi, atau kehadiran di acara publik sebagai strategi untuk memperoleh perhatian dan dukungan publik. Dalam pertunjukan media ini, penampilan dan pesan yang disampaikan sangat diatur untuk menciptakan kesan yang menguntungkan.
Di balik panggung depan yang diatur dengan cermat, elit politik juga memiliki “belakang panggung” atau back stage politik yang lebih tersembunyi. Di sinilah keputusan strategis, negosiasi politik, dan permainan kekuasaan terjadi. Meskipun pencitraan dan pertunjukan sosial terlihat dalam masyarakat, dinamika di belakang layar seringkali lebih kompleks dan jauh dari mata publik.
Sumber: Jawa Pos