Perang Rusia-Ukraina tampaknya telah meningkatkan popularitas Presiden Rusia Vladimir Putin di Indonesia. Banyaknya “fans Putin” di Indonesia seolah menjadi komoditas politik baru saat keberpihakan politisi dalam negeri untuk memberikan simpati kepada Rusia eksis demi transaksi elektoral. Lantas, benarkah demikian?
Perang Rusia-Ukraina telah memberikan dampak luas bagi dunia tak terkecuali Indonesia. Perang yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun itu telah menjadi diskusi di kalangan masyarakat termasuk para politisi.
Hal ini terlihat ketika Presiden ke-5 Indonesia Megawati Soekarnoputri menyampaikan pendapatnya terkait Perang Rusia-Ukraina dalam acara ulang tahun Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) pada 22 Mei 2023 lalu.
Dalam pidatonya, ia mengkritisi sikap Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Ia menganggap sikap Zelensky yang mendatangi negara-negara lain termasuk Indonesia untuk mencari dukungan disebut tidak ksatria.
“Saya cuma mikir realisasine mengko piye (jadi bagaimana). Kowe (Zelensky) ki ngopo to yo (Anda mengapa), keliling-keliling. Kalau saya lihat persenjataannya, itu yang keluar-keluar, saya sampai mikir, kayak mainan.” ucap Putri Proklamator itu menyentil Zelensky.
Akan tetapi, pidato Mega yang mengkritik sikap Zelensky sebenarnya terbilang cukup ironis. Pasalnya, tindakan Presiden Ukraina yang meminta “bantuan” ke negara-negara lain juga pernah dilakukan oleh ayahnya sendiri, Presiden Soekarno.
Dalam mendapatkan pengakuan dan mempertahankan kemerdekaan, Indonesia juga aktif menjalin kerja sama dengan negara-negara lain. Berbagai diplomasi disertai agenda kunjungan ke negara lain juga dilakukan oleh Presiden Soekarno.
Tanpa kunjungan Soekarno ke negara-negara Arab, misalnya, boleh jadi tidak mungkin Indonesia mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari negara lain dengan cepat.
Atau tanpa Soekarno melobi Uni Soviet, rencana besar operasi Operasi Trikora mungkin tidak akan pernah terwujud.
Dibalik “blundernya” pernyataan Megawati, ada hal yang menarik. Beberapa netizen justru terlihat menyetujui dan memberikan respon positif terhadap pendapatnya kali ini. Hal ini bisa dilihat dari laman Youtube Tribun Timur yang ikut memberitakan pidato Megawati.
Beberapa komentar yang muncul dari video tersebut, misalnya, “akhirnya setelah berpuluh tahun, hanya kali ini saya sependapat dengan beliau 😀 URAAA”, “akhirrrnya sy bisa bilang buk megawati topppppppppppppppp buk”, hingga “betul bu mega, saya dukung ucapan bu mega… uraa russia.”
Meski tak menyatakan dukungan eksplisit kepada Presiden Rusia Vladimir Putin, berkaca dari impresi atas kasus tersebut, besarnya “fans Putin” di Indonesia tampaknya bisa menjadi modal politik baru bagi para politisi lain kedepannya. Sebagai sosok yang juga sering “dirujak” netizen, pernyataan Megawati kiranya justru dapat memberikannya secercah citra positif baginya.
Besarnya “fans Putin” di Indonesia dapat dilihat dari data analisis digital yang dirilis Evello tepat saat invasi Rusia ke Ukraina di tahun 2022 lalu. Hasil analisis Evello menunjukan warganet di TikTok 91 persen lebih tertarik membicarakan Putin ketimbang Zelensky. Itu belum termasuk di Instagram, Facebook, hingga Twitter yang juga menyiratkan tren serupa.
Lantas, dibalik impresi besarnya para fans Putin di Indonesia, bagaimana prospek komunitas ini dalam kehidupan sosial-politik Indonesia?
Budaya Populer Baru?
Ada satu istilah yang biasa digunakan oleh warganet untuk menyebut para fans Putin yaitu Vatnik. Istilah Vatnik sendiri memiliki konotasi yang bersifat negatif dan bertujuan untuk mengejek para “fans Putin”.
Dalam laman Russia Beyond, Vatnik sebenarnya merupakan jaket perang yang biasa digunakan oleh tentara Uni Soviet. Jaket yang terbuat dari bahan kapas ini sangat sangat diandalkan oleh Tentara Uni Soviet untuk bertahan di cuaca dingin selama Perang Dunia I dan II.
Akan tetapi lambat laun istilah Vatnik mulai menjadi konotasi negatif. Dalam jurnal yang ditulis oleh Skvirskaja dengan judul ‘Information Turned Entertainment’: Images of the Enemy and Conspicuous Patriotic Consumption in Russia, Vatnik digunakan untuk melabel para kaum patriotik dan Xenophobic Rusia yang termakan propaganda Kremlin.
Dari sebagian besar para “fans Putin” (Vatnik) beberapa dari mereka adalah warganet negara +62. Mulai dari akun-akun fake hingga real banyak dari mereka menunjukan keberpihakan terhadap Rusia.
Dalam artikel PinterPolitik berjudul Pesona Putin Memikat Warganet Indonesia? keberpihakan warganet terhadap Rusia tidak bisa dilepaskan dari minimnya pengetahuan terkait konflik Ukraina dan Rusia dan kecenderungan mendengarkan berita dan analisis dari akademisi pro-Rusia.
Meskipun Vatnik sering diledek oleh para warganet lainnya, fans Putin di Indonesia tetap memperkuat identitas mereka. Seringkali mereka mengunggah ulang video parade militer Rusia, pidato Putin, kontak senjata di Ukraina atau membuat thread yang menunjukan ketidaksukaannya terhadap negara Barat.
Berkembangnya komunitas fans Putin di internet telah membentuk sebuah budaya populer baru. Di internet, mereka berperan dalam menciptakan wacana positif mengenai Putin dan Rusia.
Menurut tokoh studi budaya populer Henry Jenkins, terbentuknya budaya populer tidak bisa dilepaskan dari peran partisipatif pengguna internet yang bekerja sama memproduksi dan menginterpretasikan sebuah konten.
Sifatnya yang mengakar rumput terkadang membuat budaya populer sendiri seringkali digandrungi oleh para politisi demi meningkatkan elektabilitas mereka.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Street dengan judul Popular culture and political communication, keterikatan seorang politisi dengan budaya populer merupakan bentuk komunikasi politik yang dapat menghibur para penontonnya.
Selain itu, di dalam jurnal tersebut juga menjelaskan melonjaknya elektabilitas mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tidak bisa dilepaskan dari keikutsertaannya menjadi aktor di film Hollywood dan acara gulat WWE.
Melalui keterlibatan Trump di dalam dua acara beken tersebut ia dapat dikenal oleh komunitas fans budaya populer.
Melihat bukti potensi budaya populer dalam mendongkrak elektabilitas bukan, tidak mungkin pengagum Putin nantinya akan dijadikan komoditas bagi para politisi di Indonesia.
Lalu, apakah kemudian para kandidat – termasuk capres – yang akan berkompetisi di Pemilu 2024 akan “cosplay” menjadi Putin demi menarik para fans Rusia di Indonesia?
Semua Ingin Menjadi Putin?
Pakar Eropa Timur Universitas Airlangga Ridho Dharmaputra mengatakan keberpihakan kalangan konservatif Muslim di Indonesia terhadap Putin dan Rusia ketimbang Ukraina tidak bisa dilepaskan dari sentimen agama.
Menurutnya, anggapan bahwa Ukraina didukung oleh Amerika Serikat yang selama ini memerangi negara Islam dan kehadiran tokoh Muslim pro-Rusia, yakni Ramzan Kadyrov, di perang Rusia-Ukraina mengakibatkan dukungan masyarakat Indonesia terhadap Putin meningkat.
Tidak mengherankan kemudian jika sebagian kelompok Muslim konservatif di Indonesia kemungkinan memiliki irisan dengan atau merupakan “fans Putin”.
Sebagai kelompok masa yang besar, Muslim konservatif di Indonesia sendiri seringkali dirangkul kepentingannya oleh para politisi.
Hal itu selaras seperti apa yang disampaikan oleh Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi dalam jurnalnya berjudul Explaining the 2016 Islamist mobilisation in Indonesia: Religious intolerance, militant groups and the politics.
Dukungan terhadap kelompok Muslim konservatif ini, misalnya, dilakukan oleh mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika ia menolak kedatangan Timnas Israel ke Indonesia saat Piala Dunia U20.
Pengamat Politik Rocky Gerung menilai tindakan yang dilakukan oleh Ganjar tidak lebih untuk menarik dukungan dari kalangan umat Muslim.
Ilmuwan politik asal Amerika Serikat Anthony Downs dalam bukunya An Economic Theory of Democracy” menjelaskan seorang pemimpin politik dalam sistem demokrasi berusaha mencari dukungan elektoral dengan memobilisasi basis dukungan dan menyesuaikan pemikiran politiknya sesuai preferensi pemilih.
Berangkat dari argumen Downs, tidak mengherankan jika nantinya eksis para kandidat, baik legislatif maupun eksekutif, yang akan berkompetisi di Pemilu 2024 akan “memiripkan diri” menjadi Putin.
Sekali lagi, hal ini dikarenakan “fans Putin” agaknya memiliki keterkaitan dengan salah satu kelompok massa terbesar di Indonesia, Muslim konservatif.
Tak menutup kemungkinan, para kandidat kemudian membuat narasi kampanye maupun program kebijakan sesuai dengan yang dilakukan Putin selama ini di Rusia.
Dan ketika itu terjadi, kemungkinan besar tidak ditujukan untuk menjawab permasalahan yang ada di masyarakat Indonesia, namun sekedar untuk menarik dukungan belaka.
Kampanye kriminalisasi terhadap kelompok LGBT dan sentimen antiBarat mungkin saja akan hadir menjelang Pemilu 2024 untuk demi menyenangkan kelompok “fans Putin”.
Sebenarnya, tidak sepenuhnya keliru jika para kandidat membuat program atau narasi politik berdasarkan tokoh politisi mancanegara.
Akan tetapi, yang perlu diingat adalah urgensi untuk menyeleksi kembali apa yang sekiranya sesuai untuk diterapkan di Indonesia kiranya tetap harus dilakukan. (F92)
Sumber: Pinter Politik