JAKARTA – Kebangkitan China sebagai kekuatan baru negara adidaya (superior state) dianggap sebuah ancaman besar bagi Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang tetap berambisi menjadi pemimpin dunia. Pertarungan kepentingan politik global kedua negara tersebut yang memiliki senjata pamungkas nuklir, dipandang mampu untuk saling menghancurkan (mutual assured destructive) dan berimbas kehancuran total pada kehidupan manusia dan semua makhluk di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Dengan kedudukan kedua negara tersebut sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB menambah kerumitan solusi masalah jika terjadi konflik militer antar mereka. Kondisi berbahaya tersebut dapat berujung pada kedaruratan situasi yang mengancam ketertiban dan perdamaian dunia (world and peace order).
Hal tersebut disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD bertema “Peran Agama dalam Ikut Serta Melaksanakan Ketertiban Dunia Berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi, dan Keadilan Sosial” yang digelar secara daring pada Jumat (2/6/2023). FGD ini merupakan rangkain dari seri diskusi dengan tema umum, yakni “Peran Agama dalam Memajukan Peradaban Bangsa ” yang digelar rutin oleh Aliansi Kebangsaan.
Menurut Pontjo, peran agama dalam ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial adalah upaya aktualisasi gagasan politik tentang relevansi nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama agar berkontribusi konstruktif bagi solusi masalah dunia.
“Sebabnya, hak asasi manusia (HAM) sebagai atribut sekularitas dalam konteks hubungan antar manusia (dimensi horizontal), tidak dapat dipisahkan dari kewajiban asasi manusia (KAM) dalam konteks hubungan keillahian (dimensi vertikal) wujud ketaatan makhluk pada penciptanya, yaitu menjadi rakhmatan lil alamiin,” kata Pontjo.
Secara hakiki, HAM dan KAM bersifat manunggal, demi terwujudnya ketertiban dunia. Untuk itu, sikap mental perilaku pemimpin dunia perlu dipengaruhi agar memiliki kemauan dan komitmen politik untuk melaksanakan nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama, dalam memperjuangkan kepentingan negaranya vis-à-vis kepentingan masyarakat dunia.
Oleh sebab itu, lanjut Pontjo, hubungan internasional perlu melibatkan negara-negara yang mengarusutamakan akal sehat bagi terciptanya keamanan dan kesejahteraan serta kenyamanan hidup semua manusia dan bangsa. Hal itu perlu dilaksanakan melalui penghormatan pada kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice) bagi kemartabatan manusia (human dignity) sebagai makhluk mulia ciptaan-Nya
Pemahaman tersebut jelas Pontjo, relevan bagi bangsa Indonesia untuk berkontribusi konstruktif mendukung pelaksanaan kewajiban konstitusional pemerintahan negara Indonesia, untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” yang termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Menggalang, membangun dan mengembangkan upaya dan kegiatan agar nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama juga berkontribusi konstruktif dalam melaksanakan ketertiban dunia (world order) adalah cita-cita (das Sollen) bangsa Indonesia yang cinta pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagai tiga kriteria kondisi prasyarat bagi ketertiban dunia.
Menurut Pontjo, komunitas non-state actors dengan dilandasi semangat spiritualitas, memiliki peran penting untuk membangun titik temu, titik tumpu dan titik tuju agar nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama yang dapat digunakan sebagai solusi krisis dunia. Salah satu langkah kongkrit untuk menjadikan agama sebagai dasar membangun ketertiban/perdamaian dunia, diprakarsai oleh Indonesia melalui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan menggagas Forum Religion of Twenty (R-20) sebagai bagian dari forum KTT Ke-17 G-20 yang diselenggarakan tanggal 1–2 November 2022 yang lalu di Bali dalam bentuk engagement group.
“Langkah awal Indonesia itu perlu ditindak lanjuti secara koheren dan konsisten pada lingkup internal dan external agar berkelanjutan (sustainable) dan menjadi bagian integral second track diplomacy bagi pemajuan kepentingan Indonesia di kalangan masyarakat dunia internasional. Tentu diharapkan, agar dialog konstruktif yang dibangun dalam forum ini tidak berhenti pada tataran konsep semata, tetapi mewujud secara nyata dalam upaya perdamaian dunia,” tegas Pontjo.
Ia mengingatkan selama masih ada negara adikuasa maupun negara adidaya berambisi memimpin sistem pemerintahan dunia secara individual atau kolektif, berlandaskan politik kekuatan untuk berkuasa yang berujung pada eksploitasi, monopoli, dominasi dan hegemoni atas kepentingan hajat hidup manusia, bangsa dan negara lain maka gagasan menjadikan nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama untuk mencegah dan mengatasi ketegangan, konflik dan peperangan merupakan opsi solusi masalah dunia yang relevan dan berguna. Sebagai konsekuensi logis, idea tersebut perlu diperjuangkan agar didukung semua manusia dan bangsa berbagai negara penghuni planet bumi ini.
Menurutnya, proses transformasi nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama untuk ikut menciptakan hubungan internasional berkeadaban dan berkeadilan adalah titian utama agar agama berkontribusi konsruktif bagi ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama perlu diaktualisasikan menjadi world soft power, sebagai opsi problem solver masalah dunia.
Menjadikan agama sebagai world soft power melalui upaya spiritual diplomacy sebagai sarana untuk meredam dan mengatasi ambisi power politics negara adikuasa maupun negara adidaya yang bersifat eksploitatif jelas Pontjo adalah suatu keniscayaan sehingga gagasan Indonesia pada KTT Ke-17 G-20 di Bali, perlu terus diperjuangkan pada berbagai fora internasional.
Perhelatan Religion of Twenty (R-20) yang digelar di Bali tersebut, memiliki makna strategis untuk mendorong perdamaian global. Apa yang bisa dikontribusikan agama untuk mendorong ketertiban/perdamaian dunia, inilah pertanyaan utama yang coba dicari jawabannya dalam forum tersebut yang mengambil tema “Revealing and Nurturing Religion as Source of Global Solution”.
FGD yang dimoderatori Iif Fikriyanti Ihsani, M.A., dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan Host Dr Susetya Herawati, Dosen Universitas Kisnadwipayana tersebut menghadirkan narasumber Prof. Nasaruddin Umar, Imam Masjid Istiqlal, Duta Besar sekaligus Ketua Forum Duta Besa RI Prof. Makarim Wibisono, Ketua Forum Duta Besar RI; dan Dr. Najib Azca, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Sumber: MNC Trijaya