Perempuan memiliki posisi strategis dalam pembangunan politik, tetapi representasinya dalam politik masih jauh dari harapan. Bahkan, ada ancaman penurunan keterwakilan perempuan di Parlemen untuk Pemilu 2024.
Peningkatan keterwakilan perempuan dengan capaian kebijakan yang mengafirmasi perempuan, ternyata tidak berbanding lurus. Tingkat partisipasi serta keterpilihan perempuan meningkat di sektor politik, tetapi masih rentan dalam kebijakan publik. Padahal, menjelang 25 tahun reformasi di Indonesia, sudah seharusnya kesetaraan jender mencapai aspek substansi, bukan sekadar angka mengingat posisi perempuan sangat krusial dalam pembangunan politik.
Keikutsertaan perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Ruang untuk perempuan menjadi lokus untuk menciptakan inklusivitas. Laporan Kesenjangan Gender Global 2020 yang dirilis World Economic Forum, tingkat kesetaraan secara global baru 68,6 persen. Partisipasi perempuan dalam politik menempati kesenjangan terbesar dengan skor 24,7 persen. Indonesia berada di posisi ke-85 dari 153 negara. Potret ini menunjukkan masih ada problem serius dalam praktik politik elektoral di Indonesia.
Merujuk Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilu 2024 yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari total 205.835.518 pemilih, sebanyak 103.006.478 pemilih adalah perempuan. Sisanya sekitar 102.847.040 pemilih adalah laki-laki. Ini menunjukkan pemilih perempuan sangat potensial. Maka, perempuan tidak dijadikan sebagai obyek dalam kontestasi politik lima tahunan, tetapi diberikan tempat untuk mengisi 30 persen keterwakilan di masing-masing tingkatan parlemen.
Hanya formalitas
Akan tetapi, partisipasi perempuan dalam politik masih jauh dari angka minimal 30 persen. Hal ini diperparah dengan pelibatan perempuan dalam penyelenggara pemilu yang dinilai masih minim. Proses seleksi penyelenggara pemilu 2022-2027, masing-masing hanya menghasilkan satu orang keterwakilan perempuan di KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DPR nyatanya tidak memiliki komitmen kuat untuk menginternalisasikan amanat Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Rendahnya keterwakilan perempuan di tingkat pusat, ternyata memiliki dampak serius hingga ke KPU dan Bawaslu provinsi serta kabupaten/kota. Penyelenggara pemilu tingkat pusat perlu punya komitmen dan dukungan yang kuat untuk memastikan keterlibatan perempuan yang massif di penyelenggara pemilu tingkat daerah. Sebab hal ini menjadi pintu pembuka menciptakan pemilu yang berkeadilan jender. Dengan berbagai pengalaman yang dimiliki, memahami kebutuhan perempuan, serta perspektif terbuka menjadi sangat strategis untuk mengawal pemilu berintegritas.
Berdasarkan rilis media Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), seleksi gelombang pertama di 25 Bawaslu provinsi, dari total 75 anggota Bawaslu terpilih, hanya menghadirkan 11 perempuan (14,67 persen) yang menjadi komisioner. Seleksi gelombang pertama di 20 KPU provinsi juga tidak jauh berbeda. Hanya enam provinsi yang tim seleksinya memenuhi keterwakilan perempuan 30 persen. Masih minimnya perempuan yang menjadi tim seleksi, baik secara kuantitas maupun kualitas, menyebabkan kemungkinan perempuan untuk duduk di lembaga penyelenggara pemilu daerah semakin kecil.
Kasus Pengganti Antar Waktu (PAW) Riezky Aprilia di Pemilu 2019 semestinya menjadi bahan evaluasi. Perempuan kerapkali menjadi korban dalam situasi politik yang tidak menguntungkan. Ini menandakan bahwa kesadaran jender masih sangat lemah.
Kasus Pengganti Antar Waktu (PAW) Riezky Aprilia di pemilu 2019 semestinya menjadi bahan evaluasi. Perempuan kerapkali menjadi korban dalam situasi politik yang tidak menguntungkan. Ini menandakan bahwa kesadaran jender masih sangat lemah. Dugaan suap yang melibatkan penyelenggara pemilu oleh Harun Masiku untuk menempati posisi PAW Dapil Sumatera Selatan 1 dinilai mencederai demokrasi. Sementara itu, hasil rekapitulasi suara menunjukkan bahwa Riezky Aprilia yang memperoleh suara 44.402 dibandingkan dengan Harun Masiku yang hanya 5.878 suara.
Perolehan suara tertinggi dimenangkan oleh perempuan. Mestinya ini menjadi suatu kebanggaan bagi partai politik ada keterwakilan perempuan yang mengisi parlemen. Namun, alih-alih mendapatkan apresiasi kepada calon terpilih, yang terjadi justru dikhianati. Riezky Aprilia memperoleh suara tertinggi, meskipun ada di nomor urut 3. Ini adalah capaian yang sangat luar biasa, tetapi satu pun dari partai tidak ada yang memperjuangkan. Inilah urgensinya mengapa keterlibatan perempuan di penyelenggara pemilu menjadi penting, salah satunya untuk memastikan bahwa pemilu tidak dicederai serta suara perempuan di TPS tidak dicurangi.
Absurditas Regulasi
Terbitnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 menjadi permasalahan baru di Pemilu 2024. Pasal 8 ayat 2 terkait dengan persyaratan pengajuan bakal calon menyebutkan bahwa daftar bakal calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil. Jika dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, dilakukan pembulatan ke bawah. Regulasi ini dianggap melemahkan dalam pencalegan DPR dan DPRD.
Hal ini sangat berbeda dengan aturan di Pemilu 2019 yang jelas dan tegas penghitungan 30 persen di setiap dapil menghasilkan pecahan dilakukan pembulatan ke atas. Dalam regulasi pemilu juga jelas, Pasal 248 UU No 7/2017 mengenai verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota terhadap terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Dengan adanya aturan pembulatan ke bawah, memang parpol yang diuntungkan karena tidak perlu repot dan terbebani dengan mencari bacaleg perempuan.
Ketimpangan regulasi yang diduga ada upaya sistematis atau dengan sengaja diakal-akali ini berisiko merugikan bacaleg perempuan sehingga mengecilkan kemungkinan calon legislatif perempuan untuk dapat duduk di lembaga legislatif (Jurnal Perempuan, 2003). Pemilu inklusif yang kerapkali digaungkan hanya sebatas simbol belaka. Fakta yang terjadi justru melanggar hak politik perempuan yang hendak maju menjadi bacaleg.
Menghadapi situasi tersebut, para aktivis perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan tidak tinggal diam. Kelompok civil society ini menggelar aksi pada 8 Mei 2023 untuk menolak Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 dan menuntut Bawaslu sesuai dengan kewenangannya untuk memberikan rekomendasi kepada KPU agar merevisi PKPU Pencalonan dan meminta KPU kembali kepada konstitusi. Aksi tersebut ternyata membuahkan hasil signifikan. Penyelenggara pemilu yang terdiri dari KPU, Bawaslu, dan DKPP melakukan konferensi pers pada 10 Mei 2023 untuk melakukan revisi PKPU.
Uji Kemandirian KPU
Dalam rilis yang dikeluarkan KPU di point 4 menyatakan bahwa perubahan PKPU tersebut akan dilakukan dan dikonsultasikan kepada DPR dan pemerintah. Ini menjadi tantangan untuk kemandirian KPU. Amanat Pasal 3 UU No 7/2017 menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus memenuhi prinsip mandiri. Penyelenggara pemilu bukan hanya mengurusi aspek teknis, tetapi juga memiliki kewenangan menerbitkan peraturan dan kebijakan (self regulator bodies) yang tidak boleh diintervensi lembaga mana pun (full authority), termasuk DPR, pemerintah, dan partai politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-XIV/2016 telah membatalkan hasil konsultasi antara KPU, DPR, dan pemerintah yang ‘bersifat mengikat’ terkait dengan perumusan dan penetapan peraturan KPU serta pedoman teknis dalam setiap tahapan pemilu. Artinya, kemandirian KPU didefinisikan tidak ada pengaruh dan benturan kepentingan dari pihak manapun kepada penyelenggara pemilu yang sedang melaksanakan tugas dan kewenangannya. KPU harus bekerja tanpa campur tangan manapun dan independen dalam pengambilan keputusan (International IDEA, 2019).
Keberanian KPU untuk merevisi PKPU No 10/2023 sangat ditunggu oleh semua pihak. Buktikan bahwa KPU memiliki komitmen dan serius untuk menciptakan pemilu yang inklusif. Dengarkan aspirasi publik dan tunjukkan bahwa KPU memang bekerja bebas tidak dalam bayang-bayang kepentingan elite tertentu.
Tahapan pendaftaran bacaleg yang terus berjalan, KPU harus cepat melakukan revisi aturan tidak perlu melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah karena waktunya akan lebih lama lagi. KPU kiranya cukup menyampaikan pemberitahuan secara tertulis telah dilakukan revisi PKPU. Jika KPU semakin mengulur-ngulur revisi regulasi, maka ini menjadi tanda tanya publik. Salah satu kesuksesan keterpilihan perempuan di politik ditentukan oleh regulasi. Tatkala regulasi semakin dilemahkan karena terasosiasi kuat dengan kepentingan, akan menjadi ancaman terselenggaranya pemilu demokratis.
Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah
Sumber: Kompas