TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah China menggelontorkan miliaran dolar melalui mekanisme Belt and Road Initiative (BRI) ke negara-negara di kawasan Afrika Sub-Sahara.
Bahkan Presiden China, Xi Jinping pada tahun 2013 meluncurkan Inisiatif Sabuk dan Jalan China untuk menciptakan lebih banyak ‘kolaborasi internasional’.
Namun cara China memberikan utang kepada negara lain guna menumbuhkan ekonomi ini diungkap oleh eks tahanan politik China sekaligus penyintas Pembantaian Lapangan Tiananmen 1989, Jianli Yang.
Jianli Yang mengungkap bahwa bantuan dana segar Tiongkok merupakan bagian dari upaya mendominasi sektor sumber daya alam Afrika, serta menyingkirkan pengaruh Barat.
Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengingatkan negara-negara dunia termasuk Indonesia untuk waspada dengan segala bentuk kerja sama yang ditawarkan Beijing.
“Wajar jika banyak yang sependapat dengan pandangan Jianli Yang, yang menyebut keajaiban China menjadi keniscayaan karena rendah sistem pemerintahan otokratis China yang memicu terjadinya korupsi, rendahnya penerapan HAM,” kata Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa kepada wartawan, Minggu (30/4/2023).
Dalam laporan Jianli Yang, China disebut telah menyebarluaskan model negara dan bangsanya ke Afrika.
Hal ini membuat Partai Komunis China (PKC) jauh lebih kompetitif di Afrika dalam hal kemampuannya untuk terlibat dalam penjualan pengaruh, daripada di negara demokrasi Barat seperti Amerika Serikat dan Kanada.
AB Solissa mengungkap berdasarkan laporan Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London, 181 dari 1.690 tuduhan pelanggaran HAM terkait investasi Tiongkok di dunia terjadi di Afrika.
“Menurut laporan Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London baru-baru ini, dari 1.690 tuduhan pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan investasi Tiongkok di seluruh dunia, 181 dilaporkan di Afrika,” kata dia.
Sementara data yang dihimpun oleh CENTRIS dari Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia nirlaba yang berbasis di London, menyebutkan sebagian besar pelanggaran HAM itu terjadi di sektor pertambangan dan konstruksi Afrika.
Pada tahun 2019, pengadilan federal di New York menghukum mantan Menteri Dalam Negeri Hong Kong Patrick Ho 3 tahun penjara karena perannya dalam skema menyuap pejabat Afrika untuk meningkatkan perusahaan energi China terkemuka yang merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road global Beijing.
Menurutnya, cara yang dilakukan China di Afrika dapat merusak supremasi hukum internasional.
Sehingga dunia internasional dipandang perlu menaruh perhatian dan mengantisipasi langkah yang dilancarkan Beijing di negara mereka.
“Ini sangat berbahaya dan dunia internasional harus concern, bahu-membahu mengantisipasi setiap langkah Beijing ini,” pungkas AB Solissa.
Sumber: Tribun News